Menjadi orang tua yang baik memerlukan kecerdasan emosi yang tinggi. Kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk menjadi orang tua yang baik. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kecerdasan intelektual umumnya hanya menyumbangkan 20% dari kesuksesan di bidang apapun, termasuk dalam mendidik anak. Hal tersebut dikarenakan, kecerdasan intelektual tidak ada gunanya bila seseorang dikuasai emosi, bukan dikuasai oleh akal sehat dimana intelektual berperan. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk menguasai kecerdasan emosi.
Salah satu bentuk kecerdasan emosi yang perlu dikuasai oleh orang tua adalah kemampuan untuk mengungkapkan perasaan secara proporsional. Karena untuk memiliki kehidupan emosional yang sehat, emosi tidak boleh terlalu ditekan, melainkan perlu dikeluarkan dengan cara yang baik dan dapat diterima oleh orang lain. Misalnya, ketika orang tua merasa marah sekali kepada anak, bila orang tua memiliki bentuk kecerdasan emosi yang baik maka ia akan mampu untuk mengungkapkan perasaannya apa adanya kepada anak dengan cara yang baik dan dapat dimengerti oleh anak. Misalnya, dengan mengatakan “Papa/mama kecewa sekali dengan perbuatan kamu tadi sehingga papa/mama tidak bisa berpikir dengan baik sekarang. Papa/mama mau menenangkan diri dulu supaya dapat menentukan konsekuensi yang pas untuk kamu”.
Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri adalah bentuk kecerdasan emosi lainnya yang perlu dikuasai orang tua. Hal tersebut disebabkan, motivasi merupakan penggerak perilaku. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan perubahan-perubahan positif, sangat diperlukan motivasi yang tinggi. Banyak orang memandang motivasi seperti obat sekali makan, yang begitu diminum akan efektif terus untuk selama-lamanya. Kenyataannya tidak demikian. Seseorang bisa saja termotivasi pada suatu hari dan motivasi tersebut menurun beberapa hari kemudian. Sesungguhnya, menjaga motivasi dapat dianalogikan dengan menjaga kebersihan diri, perlu dipelihara secara berkala. Sama seperti seseorang perlu mandi setiap hari untuk menjaga kebersihan diri, demikian pula ia juga perlu memotivasi dirinya setiap hari untuk menjaga agar motivasinya tetap tinggi. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan membaca tulisan yang memotivasi, mendengar lagu yang memotivasi, menonton film yang memotivasi, merenung secara positif, dan lain sebagainya.
Bentuk kecerdasan emosi lainnya yang diperlukan untuk menjadi orang tua yang baik adalah kemampuan untuk mengenali emosi orang lain, khususnya anak. Dalam hal ini yang diperlukan adalah kemampuan untuk berempati, bukan simpati. Dengan berempati, seseorang akan dapat mengerti apa yang dirasakan oleh orang lain, namun tidak ikut terbawa memikul masalahnya. Sedang dengan simpati, ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dan ikut terbawa memikul masalah yang dihadapinya orang lain tersebut, sehingga sulit lepas dari pikiran. Simpati tidak terlalu sehat, karena dapat membuat seseorang merasa bersalah bila tidak mampu menolong orang lain tersebut. Dalam dunia psikologi, orang yang demikian biasanya dikatakan menderita saviour syndrome, sindrom juruselamat. Individu dengan saviour syndrome umumnya ingin dan merasa bertanggung jawab atas kebaikan hampir semua orang yag ia kenal.
Bila diperhatikan, bentuk-bentuk kecerdasan emosi yang perlu dikuasai orang tua, semuanya bersifat aktif. Wajar saja, sebab emosi adalah penggerak. Akar kata emosi berasal dari kata Latin movere yang artinya bergerak. Jadi memang jelaslah bahwa emosi memang penggerak. Dibandingkan pikiran, emosi merupakan penggerak yang lebih kuat. Maka, tidaklah mengherankan bila Firman Tuhan memerintahkan untuk menjaga hati (emosi) dengan penuh kewaspadaan dan merujuk hal tersebut sebagai penentu jalan hidup (Amsal 4 : 23, Alkitab versi Bahasa Indonesia sehari-hari). Oleh karena itu, marilah kita sebagai orang tua terus berusaha menguasai emosi dengan meningkatkan kecerdasan emosi, agar dapat mendidik anak-anak kita dengan lebih baik.
diadaptasi dari :busuremas.com