“Hebat! Aku belum pernah merasa
sebaik ini dalam hidup saya. Aku akan segera menikah!”
“Benarkah? Dengan siapa? Kapan?”
“David Gallespie, 3 bulan lagi…”
“Asyik sekali. Sudah berapa lama kamu membangun hubungan serius dengannya?”
“Tiga minggu. Aku tahu ini kedengarannya gila, aku sendiri juga serasa tidak percaya, tetapi aku tahu Davidlah pria yang tepat buatku dari Tuhan. Sejak pertemuan pertama, kami berdua langsung mengetahuinya. Tentu saja, kami tidak langsung membicarakannya di kencan pertama itu, tetapi seminggu kemudian, ia memintaku untuk menikah dengannya. Ia melamarku! Aku tahu ia akan mengajukan permintaan itu, dan aku tahu bahwa aku akan berkata ya. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.”
“David Gallespie, 3 bulan lagi…”
“Asyik sekali. Sudah berapa lama kamu membangun hubungan serius dengannya?”
“Tiga minggu. Aku tahu ini kedengarannya gila, aku sendiri juga serasa tidak percaya, tetapi aku tahu Davidlah pria yang tepat buatku dari Tuhan. Sejak pertemuan pertama, kami berdua langsung mengetahuinya. Tentu saja, kami tidak langsung membicarakannya di kencan pertama itu, tetapi seminggu kemudian, ia memintaku untuk menikah dengannya. Ia melamarku! Aku tahu ia akan mengajukan permintaan itu, dan aku tahu bahwa aku akan berkata ya. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.”
Pembicaraan di atas memang adalah
ungkapan hati dari seorang wanita yang sedang mengalami jatuh cinta, namun
gejolak perasaan semacam ini bukanlah monopoli kaum wanita saja, melainkan juga
milik kaum Adam. Sebagian besar pasangan umumnya akan masuk pernikahan melalui
jalan dan pengalaman jatuh cinta. Perjumpaan dengan seorang yang memiliki
karakter fisik dan personalitas yang cukup kuat untuk menciptakan kejutan
“listrik” dan membangunkan sistem syaraf dan hormon “cinta” akan menyebabkan
dimulainya petualangan yang memabukkan yang dikenal sebagai jatuh cinta. Namun,
ada apa sebenarnya di balik pengalaman yang luar biasa ini?
Orang yang sedang jatuh cinta
mengalami “gangguan” sementara di area rasionya, karena terjangan sensasi
emosional dan hormonal yang sangat kuat. Sehingga, ia mempunyai ilusi bahwa
kekasihnya itu sempurna. Orang tuanya (atau sahabatnya, saudaranya, pembimbing
rohaninya, dll) bisa melihat kekurangan-kekurangan orang itu, tetapi si orang jatuh
cinta yang sedang terbuai itu sama sekali tidak bisa melihat semua kekurangan
itu. Ia mungkin tahu akan adanya kekurangan-kekurangan itu, namun ia sama
sekali tidak melihatnya sebagai sesuatu yang negatif. Ibunya berkata, “Sayang,
apakah kamu sudah mempertimbangkan bahwa gadis itu pernah menjalani perawatan
psikiater selama lima tahun?” tetapi si putra menjawab, “Oh, Mama, berilah aku
kesempatan. Ia sudah lepas dari perawatan itu selama tiga bulan sekarang.”
Padahal secara rasional, ini tentu resiko yang cukup besar yang menandakan
kemungkinan ketidakberesan pada kondisi si perempuan. Mungkin ada orang-orang
terdekat si pria ini yang juga melihat kekurangan-kekurangan itu, tetapi
kemungkinan besar ia tidak akan bertanya apa-apa kepada orang-orang terdekat,
karena dalam pikirannya gadis idamannya itu sempurna dan ia sama sekali tidak
mau mempedulikan pikiran orang lain.
Berikutnya, jatuh cinta dengan cepat
akan memenuhi pikiran setiap pasangan dengan bayangan kebahagiaan yang akan
diperoleh dalam pernikahan nantinya: “Kita akan membuat satu sama lain sangat
berbahagia. Pasangan-pasangan lain bisa bertengkar dan berkelahi, tetapi kita
tidak. Kita saling menyayangi. Tidak ada cinta seperti yang kita miliki.” Kita
jadi memiliki perasaan bahwa sikap egosentris kita sudah dihapus dan kita sudah
menjadi semacam Ibu Teresa, mau memberi/mengorbankan apa saja demi kebahagiaan
kekasih kita. Sebaliknya, kita juga sungguh-sungguh percaya bahwa kekasih kita
juga berperasaan sama terhadap kita. Kita percaya bahwa ia mempunyai komitmen
untuk memenuhi kebutuhan kita, bahwa ia mencintai kita sedalam kita
mencintainya dan tidak akan pernah melakukan apapun untuk melukai kita.
Keyakinan kuat untuk dapat mengatasi setiap perbedaan-perbedaan yang akan
timbul dan sikap otomatis untuk saling mengalah dan mencapai kesepakatan
membuat setiap pasangan yang sedang jatuh cinta tidak merasa perlu mempercayai
hal-hal yang melemahkan komitmen mereka.
Sayang sekali, keabadian pengalaman
jatuh cinta itu hanya merupakan fiksi, bukan kenyataan. Dr. Dorothy Tennov,
seorang psikolog, telah melakukan studi panjang mengenai fenomena jatuh cinta
ini. Setelah mempelajari berpuluh-puluh pasangan, ia berkesimpulan bahwa daya
tahan rata-rata obsesi romantis ini hanyalah dua tahun. Bagaimanapun indahnya pengalaman
ini pada awalnya, kita akhirnya harus turun dari awang-awang dan menjejakkan
kaki kembali di bumi. Kedua mata kita akhirnya akan terbuka, dan kita melihat
kelemahan-kelemahan pada diri kekasih yang tadinya kita puja-puja. Kita
menyadari bahwa beberapa sifat dan kebiasaannya sebenarnya menjengkelkan.
Pola-pola tingkah lakunya menyebalkan. Ia memiliki kemampuan untuk melukai
perasaan kita, barangkali bahkan mengeluarkan kata-kata kasar dan menghina
kita. Sifat-sifat kecil yang tidak tampak (karena kita kesampingkan) saat
sedang jatuh cinta sekarang menumpuk bagaikan sebuah gunung besar. Pada
akhirnya setelah menikah, kita baru teringat akan kata-kata orang tua dan
sahabat dan mulai bersetuju dalam hati, “Bagaimana mungkin aku bisa begitu
bodoh?”
Sobat muda, sebagai orang Kristen,
Anda tidak perlu terjebak dan terseret oleh arus kuat gelombang jatuh cinta
ini. Tuhan sudah menyediakan Alkitab yang berisi prinsip-prinsip hidup untuk
segala sesuatu, termasuk dalam hal menyikapi pengalaman jatuh cinta dan
berpasangan. Itu sebabnya, di ROCK Ministry tersedia pelayanan Bimbingan PraNikah,
yang dapat Anda hubungi sesuai area terdekat Anda.
(Disadur dari buku “Lima Bahasa
Kasih” karya Gary Chapman, terbitan Professional Book, 1997 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar