Kamis, 09 Oktober 2014

Orang Tua & Kecerdasan Emosi

Menjadi orang tua yang baik memerlukan kecerdasan emosi yang tinggi. Kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk menjadi orang tua yang baik. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kecerdasan intelektual umumnya hanya menyumbangkan 20% dari kesuksesan di bidang apapun, termasuk dalam mendidik anak. Hal tersebut dikarenakan, kecerdasan intelektual tidak ada gunanya bila seseorang dikuasai emosi, bukan dikuasai oleh akal sehat dimana intelektual berperan. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua untuk menguasai kecerdasan emosi.

Salah satu bentuk kecerdasan emosi yang perlu dikuasai oleh orang tua adalah kemampuan untuk mengungkapkan perasaan secara proporsional. Karena untuk memiliki kehidupan emosional yang sehat, emosi tidak boleh terlalu ditekan, melainkan perlu dikeluarkan dengan cara yang baik dan dapat diterima oleh orang lain. Misalnya, ketika orang tua merasa marah sekali kepada anak, bila orang tua memiliki bentuk kecerdasan emosi yang baik maka ia akan mampu untuk mengungkapkan perasaannya apa adanya kepada anak dengan cara yang baik dan dapat dimengerti oleh anak. Misalnya, dengan mengatakan “Papa/mama kecewa sekali dengan perbuatan kamu tadi sehingga papa/mama tidak bisa berpikir dengan baik sekarang. Papa/mama mau menenangkan diri dulu supaya dapat menentukan konsekuensi yang pas untuk kamu”.

Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri adalah bentuk kecerdasan emosi lainnya yang perlu dikuasai orang tua. Hal tersebut disebabkan, motivasi merupakan penggerak perilaku. Oleh karena itu, untuk dapat melakukan perubahan-perubahan positif, sangat diperlukan motivasi yang tinggi. Banyak orang memandang motivasi seperti obat sekali makan, yang begitu diminum akan efektif terus untuk selama-lamanya. Kenyataannya tidak demikian. Seseorang bisa saja termotivasi pada suatu hari dan motivasi tersebut menurun beberapa hari kemudian. Sesungguhnya, menjaga motivasi dapat dianalogikan dengan menjaga kebersihan diri, perlu dipelihara secara berkala. Sama seperti seseorang perlu mandi setiap hari untuk menjaga kebersihan diri, demikian pula ia juga perlu memotivasi dirinya setiap hari untuk menjaga agar motivasinya tetap tinggi. Hal ini bisa dilakukan misalnya dengan membaca tulisan yang memotivasi, mendengar lagu yang memotivasi, menonton film yang memotivasi, merenung secara positif, dan lain sebagainya.

Bentuk kecerdasan emosi lainnya yang diperlukan untuk menjadi orang tua yang baik adalah kemampuan untuk mengenali emosi orang lain, khususnya anak. Dalam hal ini yang diperlukan adalah kemampuan untuk berempati, bukan simpati. Dengan berempati, seseorang akan dapat mengerti apa yang dirasakan oleh orang lain, namun tidak ikut terbawa memikul masalahnya. Sedang dengan simpati, ia dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dan ikut terbawa memikul masalah yang dihadapinya orang lain tersebut, sehingga sulit lepas dari pikiran. Simpati tidak terlalu sehat, karena dapat membuat seseorang merasa bersalah bila tidak mampu menolong orang lain tersebut. Dalam dunia psikologi, orang yang demikian biasanya dikatakan menderita saviour syndrome, sindrom juruselamat. Individu dengan saviour syndrome umumnya ingin dan merasa bertanggung jawab atas kebaikan hampir semua orang yag ia kenal.

Bila diperhatikan, bentuk-bentuk kecerdasan emosi yang perlu dikuasai orang tua, semuanya bersifat aktif. Wajar saja, sebab emosi adalah penggerak. Akar kata emosi berasal dari kata Latin movere yang artinya bergerak. Jadi memang jelaslah bahwa emosi memang penggerak. Dibandingkan pikiran, emosi merupakan penggerak yang lebih kuat. Maka, tidaklah mengherankan bila Firman Tuhan memerintahkan untuk menjaga hati (emosi) dengan penuh kewaspadaan dan merujuk hal tersebut sebagai penentu jalan hidup (Amsal 4 : 23, Alkitab versi Bahasa Indonesia sehari-hari). Oleh karena itu, marilah kita sebagai orang tua terus berusaha menguasai emosi dengan meningkatkan kecerdasan emosi, agar dapat mendidik anak-anak kita dengan lebih baik.

 diadaptasi dari :busuremas.com

Senin, 08 September 2014

MENGELOLA KONFLIK MANTU-MERTUA


Julianto Simanjuntak 


#Usaha-usaha tanpa sadar untuk memelihara “kesetiaan tersembunyi” kepada keluarga asal dengan cara “menolak” pasangan mungkin menjadi dasar dari munculnya masalah-masalah seperti impotensi, ejakulasi dini, dan ketidakmampuan orgasme#
-------


Salah satu nasehat saya kepada mereka yang lagi membangun relasi pacaran adalah: “Kenalilah baik-baik calon mertuamu”. Ini hal yang sangat penting tetapi kerap diabaikan oleh mereka yang lagi pacaran. Konflik mantu-mertua adalah salah satu kasus terbesar di ruang konseling dan percakapan sehari-hari dengan mereka yang curhat soal masalah rumah tangga.

Lihatlah kutipan di atas, survei menemukan bahwa isu keluarga asal (relasi pasangan dengan ortunya), bisa menyebabkan masalah impotensi dan gangguan seksual lainnya. Singkat kata, jika Anda tidak menyiapkan diri, maka hubungan mantu-mertua bisa jadi sumber masalah atau bencana bagi diri dan keluargamu nanti.

Sebenarnya ini bisa dicegah bila rekan Muda mau belajar sejak dini, kenalilah calon mertua. Pahami hal-hal yang akan terjadi jika engkau menikah nanti sehubungan isu ini. Sebab banyak survei membuktikan bahwa harmonis tidaknya hubungan suami-isteri sangat dipengaruhi oleh keluarga asalnya. Terutama di awal pernikahan (0-2 tahun, Masa Young Love)

Keyakinan bahwa seseorang bisa secara total terpisah dari keluarga asalnya dan menjadi individu yang berdiri sendiri adalah keyakinan yang salah. Itu tidak mungkin. Hanya kematangan individu yang menikahlah akan membuat dia tahu kapan menyeimbangkan konflik kebutuhan, antara keluarga asal dan keluarganya sendiri.

Alasan Mertua dan Mantu tinggal serumah

Dalam masyarakat kita sudah umum menantu tinggal serumah dengan mertua. Jika serumah maka konflik tidak terhindarkan. Ada beberapa alasan kenapa Mertua dan Menantu tinggal serumah:

Pertama, pasangan yang baru menikah tidak memiliki cukup dana untuk mengontrak rumah/kamar.

Kedua, ayah atau ibu salah satu pasangan tinggal sendiri sehingga mertua terpaksa serumah dengan anak dan menantunya. Apalagi jika sang Ibu tersebut menderita sakit.

Ketiga, anak dan menantu membutuhkan kehadiran mertua untuk menjaga anak mereka (cucu).

Keempat, faktor budaya tertentu, mertua mewajibkan anak lakinya tinggal bersama orangtua.


Buah Jatuh Tak Jauh Dari Pohonnya

Kesulitan-kesulitan perkawinan antara lain tidak memainkan peran suami/isteri dengan baik, ambiguitas peran, perang kekuatan, masalah komunikasi, dan harapan-harapan yang tidak terpenuhi. Di antara masalah-masalah ini, kesulitan komunikasi yang paling sering dijumpai.
Ada orang-orang yang benar-benar menjiplak-ulang pola keluarga asalnya yang berantakan. Di sisi lain ada juga yang datang dari latar belakang keluarga asalnya yang berantakan tetapi ternyata bisa membangun perkawinan yang baik.


Sebaliknya, ada juga orang-orang yang datang dari keluarga asal yang bagus (berfungsi dengan baik), namun perkawinannya sendiri berantakan.
Meskipun demikian, secara umum bisa dikatakan bahwa keluarga asal yang sehat cenderung melahirkan perkawinan-perkawinan yang sehat dan kuat.

Pengaruh Keluarga Asal


Pengaruh keluarga asal atas suatu perkawinan bisa bervariasi. Jika orangtua masih hidup, keterlibatan mereka bisa jelas terlihat terutama dalam perkawinan baru atau perkawinan yang sedang berlangsung. Mereka bisa saja memihak salah satu atau mengomentari cara mengasuh anak.

Dalam keluarga yang sehat, keluarga asal pasangan kita bisa menjadi pihak yang merekatkan hubungan, menyediakan dukungan emosi dan finansial sehingga perkawinan anda berfungsi lebih efisien. Namun, mertua anda bisa juga sangat merusak. Bahkan pada saat mereka tidak hadir secara fisik pun, pola-pola negatif yang didapatkan dari keluarga asal masing-masing tanpa bisa dihindari turut berinteraksi dalam keluarga dan perkawinan yang sedang berlangsung.

Penyebab Konflik


Salah satu sumber konflik adalah bedanya sistem nilai dan tradisi keluarga asal masing-masing. Misalnya, isteri datang dari keluarga asal yang menunjukkan kasih sayang melalui pemberian hadiah-hadiah yang bagus; sedangkan suami datang dari keluarga asal yang sama sekali tidak menggunakan hadiah sebagai sistem perhitungan mereka. Keluarga suami memperhatikan dengan cara saling menghargai dan memuji

Jika ada usaha-usaha tanpa sadar untuk memelihara “kesetiaan tersembunyi” kepada keluarga asal dengan cara “menolak” pasangan mungkin menjadi dasar dari munculnya masalah-masalah seperti impotensi, ejakulasi dini, dan ketidakmampuan orgasme.

Karena itu jika sampai terjadi maka perlu dihadapi dengan bijak. Sebab kalau dibiarkan, konflik dapat mengganggu harmonisasi relasi suami dan istri, dalam hal banyak hal: seks, komunikasi, perasaan tersaingi dan terabaikan, dan sebagainya. Pada tingkat yang lebih parah, dapat menyebabkan perceraian

Penyebab Konflik lainnya adalah: Adanya perbedaan budaya, menyangkut: penyesuaian nilai, peran, norma dan perilaku.Tuntutan hidup yang mendesak, seperti tekanan ekonomi. Kebutuhan pribadi dan orientasi nilai yang berbeda. 

Perbedaan kepribadian (temperamen dan cara pandang). Perbedaan Ideologi dan Iman. Terakhir adalah harga diri yang rendah (minder)

Jika konflik tidak bisa ditangani secara bijak dan dewasa seringkali melumpuhkan banyak hal. Antara lain, efektifitas dan produktifitas kerja. Kalau dibiarkan terus bisa menyebabkan stress hingga depresi.

Harmonisasi Hubungan Mertua-Mantu

Salah satu hal yang perlu anda lakukan adalah menyeimbangkan (mengharmoniskan) kesetiaan Anda sebagai anak kepada orang tua dan terhadap pasangan. Anda bisa rasakan tarik menarik ini setelah anda sendiri menjadi orang tua. Pendeknya, “kesetiaan tersembunyi” ini akan mempengaruhi cara Anda dalam berelasi dengan pasangan dan anak-anak.

Belajar mengembangkan sikap bahwa menantu adalah “anak sendiri” supaya mertua mampu menyayangi menantu. Di sisi lain, menantu merasakan bahwa dia diterima dalam keluarga besar suaminya. Dia merasa aman dengan perkawinannya. Menantu merasa terlindungi dan mampu mengembangkan diri dan berkreasi di dalam rumah tangganya karena sudah tidak ada perasaan takut, minder dan merasa orang asing.

Jika anda harus serumah, belajar bersikap dewasa dan jangan mau menang sendiri. Tumbuhkan sikap respek dan rasa percaya satu sama lain. Belajarlah fokus pada kelebihan mertua atau mantu Anda.

Jika sampai terjadi konflik dan ada kemarahan, kendalikan dengan baik emosi anda jangan sampai melukai. Serta miliki jiwa yang memaafkan saat luka tidak bisa dihindarkan. Cari bantuan konselor profesional bila konflik makin meruncing dan tidak bisa lagi diatasi berdua.

Penutup

Dalam pernikahan orang Timur, Mertua dan mantu adalah bagian dari paket pernikahan. Jika kita menikah dengan anaknya berarti harus menerima orangtuanya. Sangat tidak fair jika anda menerima anaknya tapi tidak menghormati orangtuanya.
Hubungan yang berhasil adalah pasangan itu menyadari bahwa mereka tidak dapat lepas dari konflik dan belajar secara dewasa menjalaninya. Tanpa menyalahkan atau mengkambinghitamkan siapapun.

Julianto Simanjuntak


Sumber: Len Sperry & J. Carlson. Marital Therapy,Love Publ Company, Colorado, 1991 dan 

Buku "ketrampilan perkawinan" (Julianto Simanjuntak

Minggu, 31 Agustus 2014

Praktek Menyumbang 60 Persen Memori Anak

Praktek Menyumbang 60 Persen Memori Anak

Ilustrasi (stock.xchg)

Jakarta, Psikologi Zone – Metode pengajaran untuk anak usia 1-6 tahun tidak cukup bila hanya melalui kata-kata, praktek langsung adalah salah cara yang efektif. Anak akan lebih cepat memahami bila mereka diberikan kesempatan untuk melakukan sendiri, sebab 60 persen ingatan anak berasal dari apa yang sudah ia lakukan.

Psikolog pendidikan anak usia dini, Novita Tandry, M.Psi mengatakan, memori anak dipengaruhi dari apa yang telah mereka lakukan, lihat dan dengar. Setiap porsi tersebut memiliki bobot sendiri dalam proses mengingat, paling besar adalah dari perbuatan sekitar 60 persen, sedangkan melihat 40 persen, dan mendengar hanya 30 persen.

“Yang paling bagus tentunya kalau ketiganya digabungkan. Melihat, mendengar sekaligus melakukannya sendiri akan membentuk 90 persen ingatan anak,” kata Novita dalam peresmian SGM Prestasi Center, Cilandak, Selasa (1/5).

Perlu bagi orang tua ataupun tenaga pendidikan usia dini untuk aktif memberikan stimulasi fisik agar perkembangan motorik kasar dan halus ikut berkembang. Melalui kegiatan aktif, anak tidak menjadi kutu buku yang hanya bisa melihat dan mendengar, namun juga mengaplikasikan.

Hal ini akan menjadi lebih efektif karena anak biasanya suka sekali bila diajak bermain. Mengenalkan aktivitas fisik sedini mungkin tidak hanya bermanfaat secara psikologis, namun juga kemampuan fisik dan juga keterbiasaan olahraga.

Stimulasi fisik tidak hanya terbatas pada aktivitas fisik saja, namun juga termasuk sentuhan fisik. Saat anak masih bayi, pijatan – pijatan lembut termasuk stimulasi fisik dan bermanfaat bagi perkembangan mental anak saat dewasa kelak.

“Kalau ada orang dewasa yang tidak romatis, tidak pernah memberi bunga pada pasangannya itu pasti waktu kecil kurang mendapat sentuhan. Makin sering diajak bersentuhan, anak-anak akan membentuk empati saat tumbuh dewasa,” kata lulusan University of New South Wales Australia ini. (dtk/mba)

www.psikologizone.com

Kenali Kesulitan Belajar Anak Sejak Dini

Kenali Kesulitan Belajar Anak Sejak Dini

Ilustrasi

Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau  lebih dari proses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menghitung.

Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya dengan lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.

Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.

Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan dijelaskan dari masing-masing pengertian tersebut.

1.    Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.

2.    Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.

3.    Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.

4.    Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

5.    Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Dari sedikit penjelasan diatas, dirasakan bahwa orangtua perlu mengetahui bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh putra/puteri mereka agar lebih mengerti bentuk kesulitan yang putera/puteri mereka hadapi. Banyak orangtua yang juga bertanya dan bingung tentang pendidikan dan prestasi belajar anak, baik di sekolah maupun dirumah.

Bahkan belajar menjadi 4 golongan masalah yang biasanya terjadi pada anak kita. Pada dasarnya seorang anak memiliki 4 masalah besar yang tampak jelas di mata orang tuanya dalam kehidupannya yaitu:

1.    Out of Law / Tidak taat aturan (seperti misalnya, susah belajar, susah menjalankan perintah, dsb)

2.    Bad Habit / Kebiasaan jelek (misalnya, suka jajan, suka merengek, suka ngambek, dsb.)

3.    Maladjustment / Penyimpangan perilaku

4.    Pause Playing Delay / Masa bermain yang tertunda

Perlu diketahui juga, awalnya banyak pendapat yang menyatakan keberhasilan anak dan pendidikan anak sangat tergantung pada IQ (intelligence quotient). Namun memasuki dekade 90-an pendapat itu mulai berubah. Daniel Goleman mengungkapkan bahwa keberhasilan anak sangat tergantung pada kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang dimiliki. Jadi IQ bukanlah satu satunya yang mempengaruhi keberhasilan anak, masih ada emotional intelligence yang juga perlu diperhatikan.

Ini adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasaan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasaan, dan mengatur suasana hati.

Dari berbagai penjelasan diatas, tentu banyak sekali tugas kita sebagai orangtua dalam mendidik anak kita baik mulai dari masa kecil mereka maupun hingga besar nantinya. Semua adalah tanggung jawab yang mulia, sebagaimana anak adalah karunia dan titipan tuhan kepada kita. Maka dari itu kita lah yang harus merawat dan memperhatikan perkembangan mereka, dan akhirnya kita pula yang akan tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka. Marilah kita memulai belajar mengenali dan mendidik anak mulai dari sekarang.

wow.psikologizone.com



Belajar Memaafkan, Meningkatkan Kesehatan Mental dan Fisik

Belajar Memaafkan, Meningkatkan Kesehatan Mental dan Fisik

Ilustrasi (marcandangel)

Menurut Mayo Clinic, memaafkan atau memberi ampunan akan terasa baik bagi kesehatan Anda.

Dendam muncul untuk mempengaruhi sistem kardiovaskular dan saraf. Dalam sebuah penelitian, orang yang fokus pada dendam pribadi, memiliki tekanan darah dan detak jantung, dan peningkatan ketegangan otot. Hal ini ditambah dengan perasaan menjadi kurang terkendali. Ketika seseorang berhasil memaafkan orang yang telah menyakiti mereka, banyak dari mereka yang mengatakan merasa lebih positif dan santai. Penelitian lain menunjukkan bahwa memaafkan memiliki efek positif pada kesehatan psikologis anda.

Memaafkan bukan berarti melupakan, memaafkan itu melepaskan apa pun yang telah terjadi. Ini memang sakit, namun masalah itu akan pergi jika anda melepaskannya. Lepas bersama beban amarah dan kebencian.

Tidak ada pendekatan tunggal untuk belajar bagaimana memaafkan seseorang. Berbicara dengan teman, terapis atau penasihat (agama) dapat membantu proses untuk memilah-milah perasaan dan tetap di jalur yang benar. Sebuah tips atau cara untuk belajar memaafkan seperti yang ditulis oleh Mayo Clinic Women’s HealthSource dalam Science Daily, adalah.

  1. Akuilah rasa sakit dan kemarahan yang anda rasakan sebagai akibat dari tindakan orang lain pada anda.
  2. Mengakui bahwa untuk lepas dari sakit hati itu butuh perubahan.
  3. Cobalah untuk berpikir tentang orang yang menyakiti anda. Apa yang membuat ia melakukan itu? Kadang-kadang ada motivasi atau sebab yang membuat peristiwa menyakitkan itu terjadi pada Anda. Bagi sebagian orang, langkah ini diakhiri dengan berkata, “Aku memaafkanmu.”
  4. Ketika Anda berhasil melakukan dan melepaskan, ada kelegaan emosional yang datang bersamaan dengan pemaafan (www.psikologizone.com)

Jumat, 29 Agustus 2014

Mengenali Anak Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar dan Upaya Mengatasinya

A.    Gejala yang Ditunjukkan Anak Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar
Gejala-gejala yang menunjukkan adanya kesulitan belajar dapat diamati dalam berbagai bentuk. Ia dapat muncul dalam bentuk perilaku yang menyimpang atau menurunnya hasil belajar. Perilaku yang menyimpang juga muncul dalam berbagai bentuk, seperti: suka mengganggu teman, sukar memusatkan perhatian, sering termenung, hiperaktif, sering membolos.
Menurunnya hasil belajar merupakan gejala kesulitan belajar yang paling jelas. Menurunnya hasil belajar ini dapat dilihat dari rendahnya hasil latihan, baik latihan di kelas maupun pekerjaan rumah dan menurunnya hasil ulangan harian/post test yang ditandai dengan diperolehnya nilai-nilai yang rendah. Nilai-nilai rendah yang dicapai siswa inilah yang dapat dijadikan indikator yang kuat tentang adanya kesulitan belajar yang dihadapi siswa.[1]
Selain itu, beberapa gejala sebagai pertanda adanya kesulitan belajar, misalnya:
1.      Menunjukkan prestasi yang rendah/di bawah rata-rata yang dicapai oleh kelompok kelas.
2.      Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan. Ia berusaha dengan keras tetapi nilainya selalu rendah.
3.      Lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar. Ia selalu tertinggal dengan kawan-kawannya dalam segala hal.
4.      Menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti acuh tak acuh, berpura-pura, dusta, dan lain-lain.
5.      Menunjukkan tingkah laku yang berlainan.[2]
Selain hal di atas, gejala kesulitan belajar juga terlihat pada anak didik yang tergolong memiliki IQ tinggi, yang secara potensial mereka seharusnya meraih prestasi belajar yang tinggi, tetapi kenyataannya mereka mendapatkan prestasi belajar yang rendah. Demikian pula anak didik yang selalu menunjukkan prestasi belajar yang tinggi untuk sebagian besar mata pelajaran, tetapi di lain waktu prestasi belajarnya menurun drastis.[3]
B.     Mengenali Anak Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar
Anak didik yang mengalami kesulitan belajar dapat diamati dari sikap serta tingkah lakunya, jika ia menunjukkan gejala-gejala yang nampak seperti tersebut di atas, maka kemungkinan anak didik tersebut mengalami kesulitan belajar. Dalam hal ini seorang pendidiklah yang diharapkan mampu mengenali gejala-gejala yang ditunjukkan oleh anak didiknya.
Selain dengan mengenali gejala-gejala di atas, kesulitan belajar pada anak didik juga dapat dikenali dengan melakukan penyelidikan dengan cara:[4]
a.     Observasi
Observasi adalah suatu cara memperoleh data dengan langsung mengamati terhadap objek. Sambil melakukan observasi, dilakukan pencatatan terhadap gejala-gejala yang tampak pada diri subjek, kemudian diseleksi untuk dipilih yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
b.    Interview
Interview adalah suatu cara mendapatkan data dengan wawancara langsung terhadap orang yang diselidiki atau terhadap orang lain –guru, orang tua, atau teman intim anak- yang dapat memberikan informasi tentang orang yang diselidiki. Interview sebagai pendukung yang akurat dari kegiatan observasi.
c.     Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu cara untuk mengetahui sesuatu dengan melihat catatan-catatan, arsip-arsip, dokumen-dokumen, yang berhubungan dengan orang yang diselidiki. Teknik ini dimaksudkan agar kita dapat menyelidiki faktor penyebab anak didik mengalami kesulitan belajar. Dokumen yang perlu dicari berhubungan dengan anak didik ialah:
·         Riwayat hidup anak didik
·         Prestasi anak didik
·         Kumpulan ulangan
·         Catatan kesehatan anak didik
·         Buku rapor anak didik
·         Buku catatan untuk semua mata pelajaran, serta
·         Buku pribadi anak didik (cumulative record), yang biasanya ada pada petugas bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
d.    Tes Diagnostik
Tes diagnostik dimaksudkan untuk mengetahui kesulitan belajar yang dialami anak didik berdasarkan hasil tes formatif sebelumnya. Tes diagnostik memrlukan sejumlah soal untuk satu mata pelajaran yang diperkirakan merupakan kesulitan bagi anak didik. Sejauh mana tingkat penguasaan anak didik terhadap bahan pelajaran yang akan diberikan guru, dapat diketahui dengan tes diagnostik.

C.     Upaya Mengatasi Kesulitan Belajar Anak Didik
Secara garis besar, langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam rangka usaha mengatasi kesulitan belajar anak didik, dapat dilakukan melalui enam tahap, yaitu:
1.      Pengumpulan Data
Untuk menemukan sumber penyebab kesulitan belajar diperlukan banyak informasi. Untuk memperoleh informasi perlu diadakan pengamatan langsung terhadap objek yang bermasalah. Baik teknik observasi dan interview maupun dokumentasi, dapat dipakai untuk mengumpulkan data, ketiganya saling melengkapi dalam rangka keakuratan data. Usaha lain yang dapat dilakukan dalam usaha pengumpulan data bisa melalui kegiatan berikut:
a.       Kunjungan rumah.
b.      Case Study.
c.       Case history.
d.      Daftar Pribadi.
e.       Meneliti pekerjaan anak.
f.       Meneliti tugas kelompok.
g.      Melaksanakan tes, baik tes IQ maupun tes prestasi.
2.      Pengolahan Data
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam rangka pengolahan data adalah sebagai berikut:
a.         Identifikasi kasus
b.         Membandingkan antarkasus
c.         Membandingkan dengan hasil tes
d.        Menarik kesimpulan
3.      Diagnosis
Diagnosis adalah keputusan (penentuan) mengenai hasil dari pengolahan data. Diagnosis dapat berupa hal-hal berikut:
a.         Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar anak didik yaitu berat dan ringannya tingkat kesulitan yang dirasakan anak didik.
b.         Keputusan mengenai faktor-faktor yang ikut menjadi sumber penyebab kesulitan belajar anak didik.
c.         Keputusan mengenai faktor utama yang menjadi sumber penyebab kesulitan belajar anak didik.
Untuk mendapatkan hasil diagnosis yang meyakinkan, sebaiknya minta bantuan tenaga ahli dalam bidang keahian mereka masing-masing, yaitu:
a.         Dokter, untuk mengetahui kesehatan anak.
b.         Psikolog, untuk mengetahui tingkat IQ anak.
c.         Psikiater, untuk mengetahui kejiwaan anak.
d.        Sosiolog, untuk mengetahui kelainan sosial yang mungkin dialami oleh anak.
e.         Guru kelas, untuk mengetahui perkembangan belajar anak selama di sekolah.
f.          Orang tua anak, untuk mengetahui kebiasaan anak di rumah.
4.      Prognosis
Keputusan yang diambil berdasarkan hasil diagnosis menjadi dasar kegiatan prognosis. Dalam prognosis dilakukan kegiatan penyusunan program dan penetapan ramalan mengenai bantuan yang harus diberikan kepada anak untuk membantunya keluar dari kesulitan belajar.
5.      Treatment
Treatment adalah perlakuan. Perlakuan yang dimaksud disini adalah pemberian bantuan kepada anak didik yang mengalami kesulitan belajar sesuai dengan program yang telah disusun pada tahap prognosis. Bentuk treatment yang mungkn dapat diberikan ialah:
a.       Melalui bimbingan belajar individual.
b.      Melalui bimbingan belajar kelompok.
c.       Melalui remedial teaching untuk mata pelajaran tertentu.
d.      Melalui bimbingan orang tua di rumah.
e.       Pemberian bimbingan pribadi untuk mengatasi masalah-masalah psikologis.
f.       Pemberian bimbingan mengenai cara belajar yang baik secara umum.
g.      Pemberian bimbingan mengenai cara belajar yang baik sesuai dengan karakteristik setiap mata pelajaran.
6.      Evaluasi
Evaluasi disini dimaksudkan untuk mengetahui apakah treatment yang telah diberikan telah berhasil dengan baik. Artinya ada kemajuan, yaitu anak dapat dibantu keluar dari lingkaran masalah kesulitan belajar, atau gagal sama sekali. Bila jawaban anak terhadap soal yang diberikan pada tahap treatment sebagian besar banyak yang salah, itu sebagai pertanda bahwa treatment gagal. Karenanya, perlu pengecekan kembali dengan cara mencari faktor-faktor penyebab dari kegagalan itu.
Dalam rangka pengecekan kembali atas kegagala treatment, secara teoritis langkah-langkah yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut:
a.       Re-Checking data (baik yang berhubungan dengan masalah pengumpulan maupun pengolahan data).
b.      Re-diagnosis.
c.       Re-prognosis.
d.      Re-treatment.
e.       Re-evaluasi. [5]
Selain melalui tahap-tahap di atas, cara mengatasi kesulitan belajar yang dihadapi siswa juga harus dilakukan dengan mengadakan diagnosis dan remedies yaitu melalui proses pemeriksaan terhadap gejala kesulitan belajar yang terjadi dan diakhiri dengan mengadakan remedies atau perbaikan sehingga masalah kesulitan belajar siswa benar dapat diatasi. Pelaksanaan diagnosis kesulitan belajar tersebut harus berlangsung secara sistematis dan terarah melalui langkah-langkah berikut:
1.      Mengidentifikasi Adanya Kesulitan Belajar
Pada langkah pertama ini guru harus mengidentifikasi/menetapkan adanya kesulitan belajar pada diri siswa. Menetapkan untuk memastikan adanya kesulitan belajar harus didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman. Sebagai pedoman untuk menetapkan adanya kesulitan belajar guru dapat menggunakan hasil-hasil post test dan catatan perilaku siswa yang menyimpang selama 2 atau 3 kali pertemuan.
2.      Menelaah/Menetapkan Status Siswa
Setelah guru mengidentifikasi dan memperoleh kepastian tentang siapa-siapa saja yang mengalami kesulitan dalam belajar, maka pada langkah kedua ini guru menelaah atau memriksa setiap siswa yang dimaksudkan pada langkah ini ialah untuk menetapkan jenis atau bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh setiap siswa. Untuk memastikan jenis atau bentuk kesulitan masing-masing dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, dengan membandingkan hasil pencapaian/penguasaan TIK (Tujuan Instruksional Khusus) hasil belajar siswa dengan TIK yang ditargetkan untuk dicapai oleh siswa. Kedua, dilakukan dengan menetapkan bentuk kesulitan mereka dalam proses belajarnya.
3.      Memperkirakan Sebab Terjadinya Kesulitan
Upaya yang dapat dilakukan guru untuk menetapkan sebab kesulitan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan alat diagnostik kesulitan belajar. Alat tersebut dapat berupa test diagnostik dan test-test untuk mengukur kemampuan inteligensi, kemampuan mengingat, kemampuan alat indera dan sebagainya yang erat kaitannya dengan proses belajar.
4.      Mengadakan Perbaikan
Strategi pelaksanaan yang ditempuh guru dalam mengadakan perbaikan ini harus dilakukan dengan melalui pendekatan psikologis didaktis, yaitu: Pertama, siswa yang akan diperbaiki sudah menyadari faktor kesulitan/kekurangan mereka; kedua, mereka yakin kesulitan/kekurangan mereka dapat diatasi; ketiga, siswa dibimbing untuk mengadakan perbaikan sesuai dengan sebab dan kondisi kesulitan yang mereka alami.[6]
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada intinya untuk mengatasi masalah belajar pada anak terlebih dahulu kita mengamati kesulitan apa yang dihadapinya, kemudian memberikan solusi untuk masalahnya dengan memberikan latihan-latihan dan sejenisnya untuk mengukur kemampuannya.


[1] Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h.. 89.
[2] Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta,1991), h. 89.
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 247.
[4] Ibid., h. 247-249.
[5] Ibid., h. 250-255.
[6] Alisuf Sabri, Op. Cit., h. 90-93.
Diposkan oleh Nida Mauizdati di 18.29 

Perkembangan Keagamaan pada Anak-anak

A. Timbulnya Agama Pada Anak

  1. Rasa Ketergantungan (Sense of Depend) 

Menurut W. H. Thomas: Manusia dilahirkan kedunia ini memiliki 4 keinginan: keinginan akan perlindungan(security), keinginan akan pengalaman baru(new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognation). Dari kerjasama 4 keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan ia hidup dalam ketergantungan.

  2. Instink Keagamaan

Menurut Woodworth: bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna.


Perkembangan Agama pada Anak, menurut Ernest Harms:
1.The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng) 
             Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenal Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat ini anak menghayati konsep ke-Tuhan-an sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.   
2.The realistic Stage (Tingkat Kenyataan) 
             Tingkatan ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ke-Tuhan-an anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini, ide keagamaan anak didasarkan  atas dorongan emosional, sehingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang Formalis.   
3.The individual stage (Tingkat Individual) 
             Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis terbagi atas: 
      a. Konsep ke-Tuhan-an yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
      b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal.
      c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri merekan dalam menghayati ajaran agama.  
  

Referensi: Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 65-67.  Diposkan oleh Nida Mauizdati di 22.30 



Minggu, 24 Agustus 2014

Tip Bonding Ayah dan Anak

Bonding atau keterikatan tidak hanya terjadi pada ibu dan bayi. Ayah pun bisa memiliki keterikatan yang erat dengan anak. Ini tip-tipnya.

Tugas dan kewajiban ayah tidak hanya soal pemenuhan materi. Ikatan atau bonding dengan anak juga diperlukan. Sejak bayi, bahkan sejak masih dalam kandungan, anak sudah membutuhkan sosok ayah. Apa saja yang bisa dilakukan ayah dalam menjalin bonding dengan anak?
  • Bicaralah dengan janin sejak ia masih dalam kandungan.
  • Hadirlah saat bayi Anda dilahirkan. Jika mungkin ikutlah memotong tali pusatnya.
  • Sering menggendong anak sejak ia bayi dan lakukan kontak mata.
  • Mengganti popok dan memakaikan baju bayi.
  • Lakukan kontak kulit, misalnya memandikan atau memijat bayi.
  • Mengajak anak jalan-jalan dalam gendongan Anda.
  • Memberi dan ikut menyuapi bayi makan.
  • Menemani istri saat membawa bayi ke dokter untuk pemeriksaan rutin dan pemberian imunisasi.
  • Membacakan dongeng sebelum tidur. Aktivitas ini bisa dilakukan sejak anak masihbayi hingga ia balita.
  • Menyanyikan lagu atau berdansa dengan bayi atau balita Anda.

Semakin banyak kegiatan yang Anda lakukan bersama anak, semakin erat ikatan antaraayah dan anak. Ingatlah bahwa kualitas hubungan ayah dan anak sangat penting dalam perkembangan anak.
Sumber: 
http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/Keluarga/tips/tip.bonding.ayah.dan.anak/001/005/146/1

Cara Sederhana Mengelola Keuangan Keluarga

Masalah keuangan adalah hal yang umum dialamikeluarga muda, apalagi di tahun-tahun pertama menjalani kehidupan berumahtangga. Belum lagi si kecil tak lama kemudian hadir di tengah Anda dan pasangan. Benarkah masalahnya terletak dari besar-kecilnya pendapatan keluarga?

“Seringkali masalahnya bukan terletak pada penghasilan yang kurang, tapi kebiasaan yang salah dalam mengelola uang,” ungkap Ligwina Hananto, ahli perencanan keuangan dalam sebuah acara Ayahbunda beberapa waktu lalu. Ternyata, dalam kenyataan, seorang ayah yang berpenghasilan ratusan juta rupiah bisa mengalami shock ketika menemukan uangnya tinggal Rp. 500.000,00 sebelum akhir bulan. 

Ligwina memberikan beberapa kunci untuk mengelola keuangan secara sederhana:
1.    Pahami portfolio keuangan keluargaAnda. Jangan sampai Anda tak tahu isi tabungan, jumlah tagihan listrik, telepon, servis mobil, belanja, biaya periksa dokter dan lainnya. Anda harus tahu berapa hutang kartu kredit, pinjaman bank atau cicilan rumah dan mobil.
2.    Susun rencana keuangan atau anggaran. Rencana keuangan yang realistis membantu Anda bersikap obyektif soal pengeluaran yang berlebihan. Tak perlu terlalu ideal, sehingga lupa kebutuhan diri sendiri. Tak ada salahnya memasukkan kebutuhan pergi ke salon, spa atau clubbing. Yang penting, anggarkan jumlah yang realistis dan Anda pun harus patuh dengan anggaran tersebut.
3.    Pikirkan lebih seksama pengertian antara “butuh” dan “ingin”. Tak jarang kita membelanjakan uang untuk hal yang tak terlalu penting atau hanya didorong keinginan, bukan kebutuhan. Buatlah daftar berupa tabel yang terdiri dari kolom untuk item belanja, kebutuhan dan keinginan. Setelah mengisi kolom item belanja, isilah kolom “kebutuhan” dan “keinginan” dengan tanda cek (V). Dari sini pertimbangkan dengan lebih matang, benda atau hal yang perlu Anda beli/penuhi atau tidak. 
4.    Hindari hutang. Godaan untuk hidup konsumtif semakin besar. Tapi bukan berarti dengan mudah Anda membeli berbagai benda secara kredit. Tumbuhkan kebiasaan keuangan yang sehat dimulai dari yang sederhana, seperti tak memiliki hutang konsumtif. 
5.    Meminimalkan belanja konsumtif. Bertemu teman lama untuk bertukar pikiran di kafe terkadang memang perlu, tapi tak berarti Anda harus melakukannya di setiap Jumat sore. Anda bisa gunakan pengeluaran ini untuk menabung atau memenuhi kebutuhan lain. 
6.    Tetapkan tujuan atau cita-cita finansial. Susun target keuangan yang ingin Anda raih secara berkala, bersama pasangan. Tetapkan tujuan spesifik, realistis, terukur dan dalam kurun waktu tertentu. Tujuan ini membantu Anda lebih fokus merancang keuangan. Misalnya, bercita-cita punya dana pendidikan prasekolah berstandar internasional dan sebagainya.
7.    Menabung, menabung, menabung. Ubah kebiasaan dan pola pikir. Segera setelah menerima gaji, sisihkan untuk tabungan dalam jumlah yang telah Anda rencanakan sesuai tujuan atau cita-cita finansial keluarga Anda. Sebaiknya, Anda memiliki rekening terpisah untuk tabungan dan kebutuhan sehari-hari.
8.    Berinvestasilah! Tentu Anda tak akan puas dengan hanya menunggu tabungan membumbung. Padahal cita-cita Anda untuk keluarga “selangit”. Inilah saat yang tepat untuk juga memikirkan investasi. Kini bentuknya macam-macam. Takut akan risiko investasi?! Tak perlu khawatir, Anda hanya perlu belajar pada ahlinya. Konsultasikan keuangan Anda dengan ahli keuangan yang handal!   
Sumber:
http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/Keluarga/keuangan/cara.sederhana.mengelola.keuangan.keluarga/001/004/7/1

 

bagaimana bayi belajar bahasa

RESUME “EINSTEIN NEVER USED FLASH CARD”
Bab 4 Bahasa: Kekuatan Ocehan

Bayi lahir dengan perangkat akuisisi “bahasa”, sebuah organ metafora yang bertanggung jawab untuk belajar bahasa. Penelitian menunjukkan bahwa pada usia 5 bulan, bayi sudah secara khusus menggunakan sisi kiri otak mereka untuk suara bahasa dan sisi kanan untuk mengekspresikan emosi. Bayi sudah menggunakan sisi otak kanan untuk mulut mereka agar mengoceh, padahal mengoceh merupakan bahasa fungsi yang dikontrol oleh belahan otak kiri – hal itu sudah dilakukan bahkan pada usia 5 bulan.

Bagaimana Bayi Belajar Bicara

Perkembangan bahasa dimulai jauh sebelum ulang tahun pertama bayi. Bahkan, dimulai di dalam rahim.

Menemukan cara bagaimana membangun bahasa: Kalimat

Bahwa anak usia 4 bulan bisa membedakan antara dua kalimat. Pada usia sangat dini, bayi sudah lebih suka mendengarkan sampel suara yang lebih alami. Dengan gerakan kepala sederhana beralih ke berbagai sisi, hal itu menunjukkan kepada kita bahwa mereka menemukan cara untuk memisahkan pidato yang terus menerus dan tak pernah berakhir menjadi “potongan-potongan”.

Menemukan cara bagaimana membangun Bahasa: Kata itu Adalah Nama Saya

Sebelum bayi anda dapat berbicara dengan baik, ia berusaha keras untuk menemukan pola dalam aliran bahasa. Pada awalnya, bayi memerlukan kata akrab untuk melayani sebagai “patokan-jangkar atau anchor” untuk membantu mereka mengingat kata-kata yang mereka dengar.

Menatap dan Menunjuk: Berkomunikasi tanpa Bahasa

Setelah menatap ke sebuah obyek yang menarik atau adegan yang mendahului kemampuan bayi untuk memeriksa bagaimanakah tatapan mereka ketika mengikuti suatu benda. Penelitian menunjukkan bahwa bayi yang lebih baik dalam mengikuti tatapan mata orangtua pada usia 6 bulan memiliki kosakata yang lebih banyak pada usia 18 dan 24 bulan.

Manfaat mengoceh

Bayi adalah komunikator yang baik, dan seperti yang kita tahu, mereka lebih mendalami repertoar daripada hanya gerakan seperti menunjuk. Dari bulan-bulan pertama kehidupan, kita mendengar bayi berbisik, menangis, dan tertawa. Pada akhir tahun pertama, anak-anak tampaknya mengoceh pergi.

Orkestra Bahasa

Bayi tidak benar-benar mengerti apa arti kata, mereka baru dapat menemukan artinya paling tidak sampai kuartal terakhir tahun 1. Sampai saat itu, mereka fokus pada pola suara dalam bahasa mereka.

Tahun 2: Bekerja di Bagian Arti Orkestra Bahasa

Para peneliti umumnya bertahan pada tiga kriteria yang harus dipenuhi sebelum mereka beranggapan bahwa anak mengucapkan sebuah kata. Pertama, untuk memenuhi syarat sebagai sebuah kata, maka kata harus memiliki makna sama setiap kali digunakan. Kedua, untuk menjadi kata yang nyata, bayi harus menggunakannya dengan tujuan berkomunikasi. Ketiga, sesungguhnya kata memungkinkan bayi untuk menunjukkan mana kata foto ayah serta ayah yang nyata.

Penandaan sebagai pemicu kata?

Mempelajari tanda-tanda sedikit lebih mudah dari pada belajar kata-kata. Membina komunikasi dapat membantu pertumbuhan bahasa anak.

Makna lebih dalam kalimat : Bagian gramatikal dari orkestra bahasa

Anak-anak mencari pola. Mereka belum memiliki kapasitas untuk menggunakan kalimat, namun mereka didorong dengan kebutuhan untuk berkomunikasi. Mereka menganalisis pembicaraan yang didengar, menarik kesimpulan, mana kata utama yang menjadi inti, kemudian menggunakannya secara efektif, juga sebagian besar dalam urutan yang benar. Mereka berbekal kemampuan analitik dan pengurutan.

Usia 3 dan 4 Tahun: memahami kalimat

Fakta bahwa anak-anak memiliki kemampuan sendiri membantu kita untuk menghilangkan mitos prasangka terhadap seseorang yang kita ajak belajar tentang bahasa. Anak-anak mengambil bahasa mereka, mendengar dan mengambil kesimpulan tanpa bantuan. Anak-anak mampu memahami banyak bahasa di luar dirinya.

Tahun 4: Anak-anak berproses pragmatis pada sebagian orkestra bahasa

Anak-anak pada 3 atau 4 tahun mengalihkan perhatian mereka pada cara berbahasa untuk digunakan dalam situasi sosial. “Pragmatis” ketika: Membedakan kapan dan bagaimana mengatakan sesuatu, membedakan dengan siapa Anda berbicara. Anak memakai pola pencarian, anak-anak mengamati sekitar dan kita untuk mengetahui bagaimana menggunakan bahasa masing-masing.

wadah dan tipe suara, sunyi senyap : tidak semua anak sama

Jika perkembangan bahasa anak-anak tidak menunjukkan variasi kemajuan, kapan kita harus merasa khawatir? Beberapa penanda kuncinya adalah jika seorang anak tidak memiliki kata-kata sama sekali yang mau diucapkan hingga usia 24 bulan dan masih belum bisa menyusun dua kata dalam kalimat pada usia 2 ½ tahun, perlu diperiksa apakah ada masalah. Juga, jika seorang anak tampak menjauh dan menghindari pandangan mata anda ketika anda ajak berbicara, perlu menjadikan periksa. Jika terlihat ada permasalahan dalam hal ini maka intervensi dari ahli perlu dilakukan.

Peran orang tua sebagai partner belajar berbahasa

Semakin banyak peluang kita untuk berbicara dengan anak-anak, semakin banyak data yang mereka analisis, dan menjadi pondasi yang baik untuk kemampuan berbahasa anak.

Membangun dan menjaga percakapan

Orang tua mendorong percakapan lebih jauh, mengajukan pertanyaan lebih lanjut, dan membangun percakapan dengan bahasa yang lebih banyak. Orangtua seharusnya membangun dan menggunakan minat anak sebagai pondasi dasar untuk membangun percakapan, percakapan merangsang pertumbuhan bahasa. Perlu digaris bawahi bahwa banyak informasi penting yang tersampaikan dengan bahasa bila orang tua dapat melakukan percakapan dengan benar untuk membangun kemampuan berbahasa anak sekaligus kemampuan berpikirnya.

berbicaralah dengan anak anda sesering mungkin

Berbicara dengan anak adalah kunci untuk mengajak anak belajar kosakata yang luas dan lebih banyak. Bercakap dengan anak bukan hanya sekedar memberikan kontribusi perkembangan berbahasa, namun juga memperluas pengetahuannya tentang dunianya dan kesanggupannya untuk terlibat dialog dengan orang lain.

Menyediakan lingkungan yang merangsang perkembangan bahasa

Penelitian menunjukkan bahwa saat guru dan pengasuh lebih banyak berbicara dengan anak-anak serta mengajukan banyak pertanyaan, hal ini menciptakan lingkungan yang merangsang perkembangan berbahasa bagi anak-anak yang menjadi asuhannya. Fakta menunjukkan bahwa merangsang kemampuan berbahasa adalah salah satu alat prediktor terbaik kemudian selanjutnya adalah kosakata, membaca dan kemampuan matematika.
sumber : http://www.bintangbangsaku.com/kumpulan-paper-dan-makalah/resume-%E2%80%9C-einstein-never-used-flash-cardquot-01/bagaimana-bayi-belajar-b

Senin, 18 Agustus 2014

Salahkah Jatuh Cinta?


“Hebat! Aku belum pernah merasa sebaik ini dalam hidup saya. Aku akan segera menikah!”

“Benarkah? Dengan siapa? Kapan?”
“David Gallespie, 3 bulan lagi…”
“Asyik sekali. Sudah berapa lama kamu membangun hubungan serius dengannya?”
“Tiga minggu. Aku tahu ini kedengarannya gila, aku sendiri juga serasa tidak percaya, tetapi aku tahu Davidlah pria yang tepat buatku dari Tuhan. Sejak pertemuan pertama, kami berdua langsung mengetahuinya. Tentu saja, kami tidak langsung membicarakannya di kencan pertama itu, tetapi seminggu kemudian, ia memintaku untuk menikah dengannya. Ia melamarku! Aku tahu ia akan mengajukan permintaan itu, dan aku tahu bahwa aku akan berkata ya. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.”

Pembicaraan di atas memang adalah ungkapan hati dari seorang wanita yang sedang mengalami jatuh cinta, namun gejolak perasaan semacam ini bukanlah monopoli kaum wanita saja, melainkan juga milik kaum Adam. Sebagian besar pasangan umumnya akan masuk pernikahan melalui jalan dan pengalaman jatuh cinta. Perjumpaan dengan seorang yang memiliki karakter fisik dan personalitas yang cukup kuat untuk menciptakan kejutan “listrik” dan membangunkan sistem syaraf dan hormon “cinta” akan menyebabkan dimulainya petualangan yang memabukkan yang dikenal sebagai jatuh cinta. Namun, ada apa sebenarnya di balik pengalaman yang luar biasa ini?

Orang yang sedang jatuh cinta mengalami “gangguan” sementara di area rasionya, karena terjangan sensasi emosional dan hormonal yang sangat kuat. Sehingga, ia mempunyai ilusi bahwa kekasihnya itu sempurna. Orang tuanya (atau sahabatnya, saudaranya, pembimbing rohaninya, dll) bisa melihat kekurangan-kekurangan orang itu, tetapi si orang jatuh cinta yang sedang terbuai itu sama sekali tidak bisa melihat semua kekurangan itu. Ia mungkin tahu akan adanya kekurangan-kekurangan itu, namun ia sama sekali tidak melihatnya sebagai sesuatu yang negatif. Ibunya berkata, “Sayang, apakah kamu sudah mempertimbangkan bahwa gadis itu pernah menjalani perawatan psikiater selama lima tahun?” tetapi si putra menjawab, “Oh, Mama, berilah aku kesempatan. Ia sudah lepas dari perawatan itu selama tiga bulan sekarang.” Padahal secara rasional, ini tentu resiko yang cukup besar yang menandakan kemungkinan ketidakberesan pada kondisi si perempuan. Mungkin ada orang-orang terdekat si pria ini yang juga melihat kekurangan-kekurangan itu, tetapi kemungkinan besar ia tidak akan bertanya apa-apa kepada orang-orang terdekat, karena dalam pikirannya gadis idamannya itu sempurna dan ia sama sekali tidak mau mempedulikan pikiran orang lain.

Berikutnya, jatuh cinta dengan cepat akan memenuhi pikiran setiap pasangan dengan bayangan kebahagiaan yang akan diperoleh dalam pernikahan nantinya: “Kita akan membuat satu sama lain sangat berbahagia. Pasangan-pasangan lain bisa bertengkar dan berkelahi, tetapi kita tidak. Kita saling menyayangi. Tidak ada cinta seperti yang kita miliki.” Kita jadi memiliki perasaan bahwa sikap egosentris kita sudah dihapus dan kita sudah menjadi semacam Ibu Teresa, mau memberi/mengorbankan apa saja demi kebahagiaan kekasih kita. Sebaliknya, kita juga sungguh-sungguh percaya bahwa kekasih kita juga berperasaan sama terhadap kita. Kita percaya bahwa ia mempunyai komitmen untuk memenuhi kebutuhan kita, bahwa ia mencintai kita sedalam kita mencintainya dan tidak akan pernah melakukan apapun untuk melukai kita. Keyakinan kuat untuk dapat mengatasi setiap perbedaan-perbedaan yang akan timbul dan sikap otomatis untuk saling mengalah dan mencapai kesepakatan membuat setiap pasangan yang sedang jatuh cinta tidak merasa perlu mempercayai hal-hal yang melemahkan komitmen mereka.

Sayang sekali, keabadian pengalaman jatuh cinta itu hanya merupakan fiksi, bukan kenyataan. Dr. Dorothy Tennov, seorang psikolog, telah melakukan studi panjang mengenai fenomena jatuh cinta ini. Setelah mempelajari berpuluh-puluh pasangan, ia berkesimpulan bahwa daya tahan rata-rata obsesi romantis ini hanyalah dua tahun. Bagaimanapun indahnya pengalaman ini pada awalnya, kita akhirnya harus turun dari awang-awang dan menjejakkan kaki kembali di bumi. Kedua mata kita akhirnya akan terbuka, dan kita melihat kelemahan-kelemahan pada diri kekasih yang tadinya kita puja-puja. Kita menyadari bahwa beberapa sifat dan kebiasaannya sebenarnya menjengkelkan. Pola-pola tingkah lakunya menyebalkan. Ia memiliki kemampuan untuk melukai perasaan kita, barangkali bahkan mengeluarkan kata-kata kasar dan menghina kita. Sifat-sifat kecil yang tidak tampak (karena kita kesampingkan) saat sedang jatuh cinta sekarang menumpuk bagaikan sebuah gunung besar. Pada akhirnya setelah menikah, kita baru teringat akan kata-kata orang tua dan sahabat dan mulai bersetuju dalam hati, “Bagaimana mungkin aku bisa begitu bodoh?”

Sobat muda, sebagai orang Kristen, Anda tidak perlu terjebak dan terseret oleh arus kuat gelombang jatuh cinta ini. Tuhan sudah menyediakan Alkitab yang berisi prinsip-prinsip hidup untuk segala sesuatu, termasuk dalam hal menyikapi pengalaman jatuh cinta dan berpasangan. Itu sebabnya, di ROCK Ministry tersedia pelayanan Bimbingan PraNikah, yang dapat Anda hubungi sesuai area terdekat Anda.

(Disadur dari buku “Lima Bahasa Kasih” karya Gary Chapman, terbitan Professional Book, 1997 )

Jumat, 10 Januari 2014

Kekuatiran

Matius 6:33
Hal kekuatiran
Kekuatiran adalah sebuah pilihan
Apabila seseorang memilih kekuatiran maka ia akan hidup dlm ketidak pastian (sehasta, sejengkal, langkah)

Dalam ajaran Hal kekuatiran, dari kitab Matius kita dapatkan beberapa nilai kerajaan yang dapat kita ambil

1. Gambar diri yang benar
Alur pengajaran Yesus dimulai dari perbandingan manusia dengan benda hidup yang lainnya
(Tumbuhan dan hewan)
Tumbuhan dan hewan dipelihara, didandani oleh Allah
Padahal manusia lebih berharga dari tumbuhan dan hewan, apabila Tuhan memperlakukan kedua benda hidup itu sedemikian rupa, maka kita mendapat sebuah kepastian bahwa Kasih dan Kuasa Allah berlaku atas kita melebihi ke 2 benda hidup itu

2. Cukup unik, di sini Yesus menggunakan kata Bapa, bukan Tuhan atas Allah
Impresi yang saya dapatkan adl Ada sebuah pesan posisi kita dihadapan Tuhan. Yesus memperhadapkan bahwa Tuhan sang pencipta dan pemeliharan itu sebagai Bapa dan kita adalah anakNya
Kesadaran akan posisi kita dihadapan Allah memberikan kita daya tahan untuk menghadapi kekuatiran
Dalam pengajaran yang lain Yesus menjabarkan mengenai perbandingan kasih Bapa dunia yang terbatas (baik secara kualitas dan kuantitas) dengan kasih Bapa Di Sorga yang tdk terbatas, kembali Yesus menyakinkam kepada para muridnya, kepada kita para orang percaya bahwa kasih Bapa itu adalah satu-satunya yang dapat mengalahkan kekuatiran
Dalam tulisan lain dikatakan, kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan

3. Pengenalan akan siapa Dia yang kita percaya membawa kita pada sebuah penyerahan hidup. Matius menggambarkan bahwa ia adalah sang pencipta dan pemeliharan kehidupan. Dia bukan hanya menciptakan kehidupan kita tetapi DIA MEMELIHARA kehidupan kita. KuasaNya yang tak terbatas sanggup, mampu dan mau menolong dan memelihara kehidupan kita. 
Penyertaan dan pemeliharaannya sempurna dalam kehidupan kita
Kita dapat bercermin pemeliharan Tuhan atas umat israel sewaktu mereka di Padang Gurun
Tuhan mengirimkan manna, daging bahkan kasut merekapun dikatakan tidak rusak
Ya..pemeliharaannya sempurna atas kita
Dia adalah ALLAH yang setia, sekali ia berjanji untuk menggendong kita, maka Dia akan berjalan sesuai dengan apa yang Ia katakan