Jumat, 05 Oktober 2012

Komitmen pernikahan



Menurut Elisabeth achtemeier, pernikahan Kristiani seharusnya mempunyai komitmen di dalam 6 hal berikut:
Pertama, komitmen secara total
Berarti pasangan itu menyerahkan diri secara menyeluruh dalam hubungan pernikahan sehingga apapun yangterjadi di dalam kehidupan mereka, pasangan itu akan tetap mempertahankan pernikahan mereka. dedikasi secara total berarti, “Aku akan tetap bersamamu, bila terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan”. Dalam model komitmen ini, bila kehidupan pernikahan menghadapi jalan buntu, pasangan masih berpengharapan bahwa aka nada jalan keluar bagi pernikahan mereka, hal ini akan membuat pernikahan bertumbuh menjadi kuat. Prinsip komitmen ini: saya akan melaksanakan semua ini dengan bantuan Kristus yang selalu menyertai kita dan dengan usaha sepenuhnya dari pihak kita berdua
Kedua, Komitmen untuk menerima.
Suami dan istri mau menerima pasangannya secara utuh, apa adanya termasuk semua kebaikan dan keburukannya. Pasangan kita adalah image of God yang unik dan tidak pernah sama dengan kita. Dia adalah pribadi yang memiliki keutuhan dan kepribadiannya sendiri. Dia mempunyai hak untuk berbeda dengan kita, sehingga tetap harus dihargai
Ketiga, komitmen secera eksklusif.
Suami dan istri tidak boleh dibagi dengan orang lain, tidak boleh ada campur tangan dari pihak lain (orang ketiga). Dalam hal ini, Tuhan memerintahkan agar suami dan istri tidak terlibat dalam perzinahan (Kel. 20:14, Rm. 1:26-27). Dalam komitmen ini pasangan secara seutuhnya bersatu dalam tubuh, pikiran, jiwa dan roh, maka seharusnyalah pasangan anda yang paling mengerti tentang anda dan paling cocok untuk anda, bukan orang lain. Maka dalam pernikahan, kita harus memelihara komunikasi agar kita makin memahami pasangan kita dengan baik sehingga kita tidak tergoda mencari seseorang yang lain.
Keempat, komitmen yang terus menerus
Berarti setiap pasangan diharapkan menyadari realita bahwa mereka adalah bukanlah dua tetapi telah menjadi satu. Perlu disadari bahwa seiring dengan bertambahnya usia, kehadiran anak, dan banyaknya kegiatan mungkin akan membuat komitmen jadi berkurang. Karena itu perlu membaharui komitmen kita yang mengacu kepada Kristus yang selalu mengasihi kita sekali pun kita mungkin berubah-ubah
Kelima, komitmen yang bertumbuh.
Berarti suatu komitmen yang berkembang  seiring dengan tingkat kematangan rohani pasangan tersebut. Komitmen ini bisa dimanifestasikan dengan sikap saling memperhatikan kepentingan pasangan. Juga peka terhadap kebutuhan pasangan, berkorban demi pasangannya, menjaga harga dirinya sendiri dan mengembangkan talenta diri. Sediakanlah suatu waktu khusus untuk berbagi rasa, berkomunikasi dari hati ke hati, pergi berlibur, sehingga pernikahan it uterus diperkaya
Keenam, komitmen yang berpengharapan
Berarti suatu komitmen yang tidak pernah putus harapan. Kita memberikan diri kepada pasangan kita, tidak saja dengan kasih tetapi dengan penuh pengharapan seperti Kristus telah memberikan diriNya sendiri. Komitmen demikianlah yang dapat meneguhkan kita saat pasangan kita menghadapi kesulitan. Kesulitan dan cobaan yang ada justru bisa saling memperbaharui hubungan kita dengan Kristus dan pasangan kita

Kamis, 04 Oktober 2012

Hakekat Pernikahan (2)



Pernikahan adalah Kesaksian
Dalam Efesus 5:23, Paulus menggambarkan hubungan suami dan istri seperti hubungan Allah dan jemaatNya, artinya dengan menikah orang Kristen dipanggil masuk  satu panggilan pelayanan khusus, yakni menyaksikan Kristus lewat wadah keluarga. Implikasinya adalah, hubungan dan komunikasi suami-istri menjadi wadah anak-anak belajar mengenal kasih Tuhan
Disamping itu, keluarga juga menjadi tempat persiapan dan latihan anak-anak untuk menjadi suami atau istri serta menjadi orangtua. Selanjutnya model itu akn terus terbawa dalam pola mereka mendidik anak-anak kelak. Pernikahan yang sehat dan berfungsi pada umumnya akan menghasilkan anak-anak yang sehat pula. Jadi, setiap mereka yang akan menikah dan menjadi orangtua perlu menyadari konsekuensi ini, yaitu dipanggil menjadi reflector kasih Allah bagi anak-anak. Setidaknya ada tujuh dimenasi dari kasih Allah yang perlu kita refleksikan dalam kehidupan kita sebagai orang tua, yakni;
-          sikap yang penuh peduli
-          tanggung jawab
-          disiplin
-          murah hati
-          respek
-          pengenalan
-          dan pengampunan
Di adaptasi dari buku ”Surat Ijin Menikah” oleh Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha

Hakekat pernikahan (1)


Pernikahan adalah Suatu Perjanjian (covenant)
Pernikahan yang baik adalah komitmen total dari dua orang (lawan jenis) di hadapan Tuhan dan sesame. Pernikahan yang baik di dasarkan kesadaran bahwa pernikahan ini adalah kemitraan yang mutual. Pernikahan yang baik juga melibatkan Tuhan secara proaktif di dalam setiap pengmabilan keputusan, sebab perkawinan adalah sebuah rencana ilahi yang istimewa. Dengan demikian pernikahan itu mestinya tetap dijaga dan dipertahankan di dalam keuatan Roh yang mempersatukan
Secara simbolis orang yang menikkah mengucapkan janji nikah di Gereja. Secara sederhana, perjanjian adalah satu persetujuan antara dua atau lebih individu ataupun kelompok. Perjanjian itu adalah to love and tobe loved. Menurut Balswick (The Family: A Christian Perspectiveon the contemporary Home), ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari perjanjian yang Allah tetapkan itu. pertama; perjanjian itu sepenuhnya merupakan tindakan Allah, bukan sesuatu yang bersifat kontrak. Komitmen Allah ini akan tetap berlangsung, tidak tergantung pada manusia. Kedua, Allah menghendaki respons dari manusia. Namun ini bukan berarti perjanjian tersebut bersifat kondisional. Perjanjian itu tetap menjadi satu perjanjian yang kekal, terlepas dari apakah umat Tuhan melakukannya atau tidak. Ketiga, Allah menyediakan berkat-berkat dan keuntungan bagi mereka yang menuruti perjanjian tersebut. Manusia diberi kebebasan untuk memilih, untuk hidup dalam perjanjian itu atau menolaknya
R.C Sproul (berkata bahwa penikahan bukanlah hasil dari perkembangan kebudayaan manusia. Istititusi  pernikahan ditetapkan seiring dengan penciptaan itu sendiri. Senada dengan itu, John Stott (Isu-isu global : Menantang Kepemimpinan Kristiani) berkata “…perkawinan bukanlah temuan manusia. Ajaran kekristenan tentang topik ini diawali dengan penegasan penuh kegembiraan bahwa perkawinan adalah GAGASAN ALLAH, bukanlah gagasan manusia…perkawinan sudah ditetapkan Allah masih pada masa sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa
Kalau demikian, pengertian di atas mengandung tiga implikasi
Pertama : setiap orang yang mau menikah seharusnya memberikan attensi pada pengenalan eksistensi Allah sebagai pendiri lembaga ini.
Kedua : memberikan Allah otoritas penuh dalam memimpin lembaga ini, sehingga komunikasi suami-istri bersifat trialog. Artinya Allah dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan
Ketiga : pernikahan diikat oleh komitmen seumur hidup, sebab perjanjian itu bukan kepada manusia, tetapi kepada Allah sendiri
Dengan memahami pernikahan adalah satu ikatan perjanjian dengan Allah, maka calon suami-istri disadarkan agar senantiasa bergantung pada kekuatan Allah dalam menjalani roda pernikahan.
Di adaptasi dari buku ”Surat Ijin Menikah” oleh Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha

Mitos Cinta dan Pacaran



Ada beberapa jebakan yang dialami oleh pasangan sebelum dan sesudah memasuki pernikahan. Jebakan itu adalah konsep dan harapan yang keliru tentang cinta dan pacaran. Istilah lainnya adalah mitos-mitos cinta dan mitos-mitos pacaran.
Mitos-mitos cinta :
Karena kami saling mencintai. Banyak orang menikah dengan alasan saling mencintai, namun mereka memahami cinta hanya sebagai Psychological Phenomena. Artinya, hanya kebetulan ada perasaan attracted atau passion. Misalnya melihat wajah cantik, kekayaan atau kepandaian; atau karena adanya kesempatan tertentu, sering ketemu lalu bergaul kemudian muncul perasaan cinta. Lama kelamaan, ketika muncul kesadaran baru, ia merasa pacarnya sebenarnya tidak terlalu menarik. Tetapi karena sudah mengikatkan diri, sulit untuk mundur. Ironisnya, kalau ketemu orang lain yang lebih baik, cantik/ganteng dan menarik, mudah juga putus.
Lederer dan Jacson (The mirages of marriage) menemukan bahwa cinta bukanlah menjadi alasan utama orang menikah. Ada beberapa alasan lain (yang lebih dominan) yang mendorong orang menikah, antara lain; karena kehamilan (pengalaman bercumbu selama pacaran), tekanan atau desakan sosial (misalnya dari orang tua mengingkan mereka segera menikah). Ada juga karena pengaruh buku-buku roman dan tradisi, inggin lepas dari rasa kesepian dan kebosanan, serta takut akan keadaan ekonomi di masa depan. Ada yang menikah karena merasa dengan menikah hidup lebih lengkap. Yang lain menikah untuk mencari symbol orangtua (mencari pengganti ayah atau ibu yang ia kagumi).

Mitos-mitos lain yang perlu diwaspadai :
a.       Masing-masing merasa diri lebih mencntai pasangannya. Akibatnya, jika ada masalah merasa saling menuduh bahwa pasangannyalah yang menyebabkan masalah tersebut
b.      Ada pasangan yang merasa cinta sangat perlu bagi kepuasan pernikahan, namun cinta hanya  dimengerti sebagai tindakan romatis pada waktu bercumbu
c.       Pasangan lain yang mengatakan perbedaan pria dan wanitalah yang menyebabkan banyak masalah dalam pernikahan
d.      Kehadiran anak di tengah keluarga dapat menjadi pemecah hubungan suami-sitri
e.      Ide bahwa pernikahan dapat menyembuhkan kesepian
f.        Banyak orang takut menegur atau marah pada pasangannya karena takut menimbulkan konflik
Akibat semua mitos atau pengertian di atas (keyakinan) yang salah di atas adalah banyak keluarga menjadi tidak berfungsi (disfungsional) sebagaimana mestinya. Komunikasi sangat rapuh, sebab lebih banyak menuntut daripada rela member diri bagi pasangannya. Masing-masing saling menyalahkan
 Di adaptasi dari buku ”Surat Ijin Menikah” oleh Julianto Simanjuntak dan Roswitha Ndraha