Minggu, 31 Agustus 2014

Praktek Menyumbang 60 Persen Memori Anak

Praktek Menyumbang 60 Persen Memori Anak

Ilustrasi (stock.xchg)

Jakarta, Psikologi Zone – Metode pengajaran untuk anak usia 1-6 tahun tidak cukup bila hanya melalui kata-kata, praktek langsung adalah salah cara yang efektif. Anak akan lebih cepat memahami bila mereka diberikan kesempatan untuk melakukan sendiri, sebab 60 persen ingatan anak berasal dari apa yang sudah ia lakukan.

Psikolog pendidikan anak usia dini, Novita Tandry, M.Psi mengatakan, memori anak dipengaruhi dari apa yang telah mereka lakukan, lihat dan dengar. Setiap porsi tersebut memiliki bobot sendiri dalam proses mengingat, paling besar adalah dari perbuatan sekitar 60 persen, sedangkan melihat 40 persen, dan mendengar hanya 30 persen.

“Yang paling bagus tentunya kalau ketiganya digabungkan. Melihat, mendengar sekaligus melakukannya sendiri akan membentuk 90 persen ingatan anak,” kata Novita dalam peresmian SGM Prestasi Center, Cilandak, Selasa (1/5).

Perlu bagi orang tua ataupun tenaga pendidikan usia dini untuk aktif memberikan stimulasi fisik agar perkembangan motorik kasar dan halus ikut berkembang. Melalui kegiatan aktif, anak tidak menjadi kutu buku yang hanya bisa melihat dan mendengar, namun juga mengaplikasikan.

Hal ini akan menjadi lebih efektif karena anak biasanya suka sekali bila diajak bermain. Mengenalkan aktivitas fisik sedini mungkin tidak hanya bermanfaat secara psikologis, namun juga kemampuan fisik dan juga keterbiasaan olahraga.

Stimulasi fisik tidak hanya terbatas pada aktivitas fisik saja, namun juga termasuk sentuhan fisik. Saat anak masih bayi, pijatan – pijatan lembut termasuk stimulasi fisik dan bermanfaat bagi perkembangan mental anak saat dewasa kelak.

“Kalau ada orang dewasa yang tidak romatis, tidak pernah memberi bunga pada pasangannya itu pasti waktu kecil kurang mendapat sentuhan. Makin sering diajak bersentuhan, anak-anak akan membentuk empati saat tumbuh dewasa,” kata lulusan University of New South Wales Australia ini. (dtk/mba)

www.psikologizone.com

Kenali Kesulitan Belajar Anak Sejak Dini

Kenali Kesulitan Belajar Anak Sejak Dini

Ilustrasi

Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang memiliki ganguan satu atau  lebih dari proses dasar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menghitung.

Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi seperti gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia dan afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya dengan lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan.

Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.

Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan dijelaskan dari masing-masing pengertian tersebut.

1.    Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.

2.    Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.

3.    Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.

4.    Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.

5.    Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Dari sedikit penjelasan diatas, dirasakan bahwa orangtua perlu mengetahui bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh putra/puteri mereka agar lebih mengerti bentuk kesulitan yang putera/puteri mereka hadapi. Banyak orangtua yang juga bertanya dan bingung tentang pendidikan dan prestasi belajar anak, baik di sekolah maupun dirumah.

Bahkan belajar menjadi 4 golongan masalah yang biasanya terjadi pada anak kita. Pada dasarnya seorang anak memiliki 4 masalah besar yang tampak jelas di mata orang tuanya dalam kehidupannya yaitu:

1.    Out of Law / Tidak taat aturan (seperti misalnya, susah belajar, susah menjalankan perintah, dsb)

2.    Bad Habit / Kebiasaan jelek (misalnya, suka jajan, suka merengek, suka ngambek, dsb.)

3.    Maladjustment / Penyimpangan perilaku

4.    Pause Playing Delay / Masa bermain yang tertunda

Perlu diketahui juga, awalnya banyak pendapat yang menyatakan keberhasilan anak dan pendidikan anak sangat tergantung pada IQ (intelligence quotient). Namun memasuki dekade 90-an pendapat itu mulai berubah. Daniel Goleman mengungkapkan bahwa keberhasilan anak sangat tergantung pada kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang dimiliki. Jadi IQ bukanlah satu satunya yang mempengaruhi keberhasilan anak, masih ada emotional intelligence yang juga perlu diperhatikan.

Ini adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasaan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasaan, dan mengatur suasana hati.

Dari berbagai penjelasan diatas, tentu banyak sekali tugas kita sebagai orangtua dalam mendidik anak kita baik mulai dari masa kecil mereka maupun hingga besar nantinya. Semua adalah tanggung jawab yang mulia, sebagaimana anak adalah karunia dan titipan tuhan kepada kita. Maka dari itu kita lah yang harus merawat dan memperhatikan perkembangan mereka, dan akhirnya kita pula yang akan tersenyum bahagia melihat perkembangan mereka. Marilah kita memulai belajar mengenali dan mendidik anak mulai dari sekarang.

wow.psikologizone.com



Belajar Memaafkan, Meningkatkan Kesehatan Mental dan Fisik

Belajar Memaafkan, Meningkatkan Kesehatan Mental dan Fisik

Ilustrasi (marcandangel)

Menurut Mayo Clinic, memaafkan atau memberi ampunan akan terasa baik bagi kesehatan Anda.

Dendam muncul untuk mempengaruhi sistem kardiovaskular dan saraf. Dalam sebuah penelitian, orang yang fokus pada dendam pribadi, memiliki tekanan darah dan detak jantung, dan peningkatan ketegangan otot. Hal ini ditambah dengan perasaan menjadi kurang terkendali. Ketika seseorang berhasil memaafkan orang yang telah menyakiti mereka, banyak dari mereka yang mengatakan merasa lebih positif dan santai. Penelitian lain menunjukkan bahwa memaafkan memiliki efek positif pada kesehatan psikologis anda.

Memaafkan bukan berarti melupakan, memaafkan itu melepaskan apa pun yang telah terjadi. Ini memang sakit, namun masalah itu akan pergi jika anda melepaskannya. Lepas bersama beban amarah dan kebencian.

Tidak ada pendekatan tunggal untuk belajar bagaimana memaafkan seseorang. Berbicara dengan teman, terapis atau penasihat (agama) dapat membantu proses untuk memilah-milah perasaan dan tetap di jalur yang benar. Sebuah tips atau cara untuk belajar memaafkan seperti yang ditulis oleh Mayo Clinic Women’s HealthSource dalam Science Daily, adalah.

  1. Akuilah rasa sakit dan kemarahan yang anda rasakan sebagai akibat dari tindakan orang lain pada anda.
  2. Mengakui bahwa untuk lepas dari sakit hati itu butuh perubahan.
  3. Cobalah untuk berpikir tentang orang yang menyakiti anda. Apa yang membuat ia melakukan itu? Kadang-kadang ada motivasi atau sebab yang membuat peristiwa menyakitkan itu terjadi pada Anda. Bagi sebagian orang, langkah ini diakhiri dengan berkata, “Aku memaafkanmu.”
  4. Ketika Anda berhasil melakukan dan melepaskan, ada kelegaan emosional yang datang bersamaan dengan pemaafan (www.psikologizone.com)

Jumat, 29 Agustus 2014

Mengenali Anak Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar dan Upaya Mengatasinya

A.    Gejala yang Ditunjukkan Anak Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar
Gejala-gejala yang menunjukkan adanya kesulitan belajar dapat diamati dalam berbagai bentuk. Ia dapat muncul dalam bentuk perilaku yang menyimpang atau menurunnya hasil belajar. Perilaku yang menyimpang juga muncul dalam berbagai bentuk, seperti: suka mengganggu teman, sukar memusatkan perhatian, sering termenung, hiperaktif, sering membolos.
Menurunnya hasil belajar merupakan gejala kesulitan belajar yang paling jelas. Menurunnya hasil belajar ini dapat dilihat dari rendahnya hasil latihan, baik latihan di kelas maupun pekerjaan rumah dan menurunnya hasil ulangan harian/post test yang ditandai dengan diperolehnya nilai-nilai yang rendah. Nilai-nilai rendah yang dicapai siswa inilah yang dapat dijadikan indikator yang kuat tentang adanya kesulitan belajar yang dihadapi siswa.[1]
Selain itu, beberapa gejala sebagai pertanda adanya kesulitan belajar, misalnya:
1.      Menunjukkan prestasi yang rendah/di bawah rata-rata yang dicapai oleh kelompok kelas.
2.      Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan. Ia berusaha dengan keras tetapi nilainya selalu rendah.
3.      Lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar. Ia selalu tertinggal dengan kawan-kawannya dalam segala hal.
4.      Menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti acuh tak acuh, berpura-pura, dusta, dan lain-lain.
5.      Menunjukkan tingkah laku yang berlainan.[2]
Selain hal di atas, gejala kesulitan belajar juga terlihat pada anak didik yang tergolong memiliki IQ tinggi, yang secara potensial mereka seharusnya meraih prestasi belajar yang tinggi, tetapi kenyataannya mereka mendapatkan prestasi belajar yang rendah. Demikian pula anak didik yang selalu menunjukkan prestasi belajar yang tinggi untuk sebagian besar mata pelajaran, tetapi di lain waktu prestasi belajarnya menurun drastis.[3]
B.     Mengenali Anak Didik yang Mengalami Kesulitan Belajar
Anak didik yang mengalami kesulitan belajar dapat diamati dari sikap serta tingkah lakunya, jika ia menunjukkan gejala-gejala yang nampak seperti tersebut di atas, maka kemungkinan anak didik tersebut mengalami kesulitan belajar. Dalam hal ini seorang pendidiklah yang diharapkan mampu mengenali gejala-gejala yang ditunjukkan oleh anak didiknya.
Selain dengan mengenali gejala-gejala di atas, kesulitan belajar pada anak didik juga dapat dikenali dengan melakukan penyelidikan dengan cara:[4]
a.     Observasi
Observasi adalah suatu cara memperoleh data dengan langsung mengamati terhadap objek. Sambil melakukan observasi, dilakukan pencatatan terhadap gejala-gejala yang tampak pada diri subjek, kemudian diseleksi untuk dipilih yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
b.    Interview
Interview adalah suatu cara mendapatkan data dengan wawancara langsung terhadap orang yang diselidiki atau terhadap orang lain –guru, orang tua, atau teman intim anak- yang dapat memberikan informasi tentang orang yang diselidiki. Interview sebagai pendukung yang akurat dari kegiatan observasi.
c.     Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu cara untuk mengetahui sesuatu dengan melihat catatan-catatan, arsip-arsip, dokumen-dokumen, yang berhubungan dengan orang yang diselidiki. Teknik ini dimaksudkan agar kita dapat menyelidiki faktor penyebab anak didik mengalami kesulitan belajar. Dokumen yang perlu dicari berhubungan dengan anak didik ialah:
·         Riwayat hidup anak didik
·         Prestasi anak didik
·         Kumpulan ulangan
·         Catatan kesehatan anak didik
·         Buku rapor anak didik
·         Buku catatan untuk semua mata pelajaran, serta
·         Buku pribadi anak didik (cumulative record), yang biasanya ada pada petugas bimbingan dan penyuluhan di sekolah.
d.    Tes Diagnostik
Tes diagnostik dimaksudkan untuk mengetahui kesulitan belajar yang dialami anak didik berdasarkan hasil tes formatif sebelumnya. Tes diagnostik memrlukan sejumlah soal untuk satu mata pelajaran yang diperkirakan merupakan kesulitan bagi anak didik. Sejauh mana tingkat penguasaan anak didik terhadap bahan pelajaran yang akan diberikan guru, dapat diketahui dengan tes diagnostik.

C.     Upaya Mengatasi Kesulitan Belajar Anak Didik
Secara garis besar, langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam rangka usaha mengatasi kesulitan belajar anak didik, dapat dilakukan melalui enam tahap, yaitu:
1.      Pengumpulan Data
Untuk menemukan sumber penyebab kesulitan belajar diperlukan banyak informasi. Untuk memperoleh informasi perlu diadakan pengamatan langsung terhadap objek yang bermasalah. Baik teknik observasi dan interview maupun dokumentasi, dapat dipakai untuk mengumpulkan data, ketiganya saling melengkapi dalam rangka keakuratan data. Usaha lain yang dapat dilakukan dalam usaha pengumpulan data bisa melalui kegiatan berikut:
a.       Kunjungan rumah.
b.      Case Study.
c.       Case history.
d.      Daftar Pribadi.
e.       Meneliti pekerjaan anak.
f.       Meneliti tugas kelompok.
g.      Melaksanakan tes, baik tes IQ maupun tes prestasi.
2.      Pengolahan Data
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam rangka pengolahan data adalah sebagai berikut:
a.         Identifikasi kasus
b.         Membandingkan antarkasus
c.         Membandingkan dengan hasil tes
d.        Menarik kesimpulan
3.      Diagnosis
Diagnosis adalah keputusan (penentuan) mengenai hasil dari pengolahan data. Diagnosis dapat berupa hal-hal berikut:
a.         Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar anak didik yaitu berat dan ringannya tingkat kesulitan yang dirasakan anak didik.
b.         Keputusan mengenai faktor-faktor yang ikut menjadi sumber penyebab kesulitan belajar anak didik.
c.         Keputusan mengenai faktor utama yang menjadi sumber penyebab kesulitan belajar anak didik.
Untuk mendapatkan hasil diagnosis yang meyakinkan, sebaiknya minta bantuan tenaga ahli dalam bidang keahian mereka masing-masing, yaitu:
a.         Dokter, untuk mengetahui kesehatan anak.
b.         Psikolog, untuk mengetahui tingkat IQ anak.
c.         Psikiater, untuk mengetahui kejiwaan anak.
d.        Sosiolog, untuk mengetahui kelainan sosial yang mungkin dialami oleh anak.
e.         Guru kelas, untuk mengetahui perkembangan belajar anak selama di sekolah.
f.          Orang tua anak, untuk mengetahui kebiasaan anak di rumah.
4.      Prognosis
Keputusan yang diambil berdasarkan hasil diagnosis menjadi dasar kegiatan prognosis. Dalam prognosis dilakukan kegiatan penyusunan program dan penetapan ramalan mengenai bantuan yang harus diberikan kepada anak untuk membantunya keluar dari kesulitan belajar.
5.      Treatment
Treatment adalah perlakuan. Perlakuan yang dimaksud disini adalah pemberian bantuan kepada anak didik yang mengalami kesulitan belajar sesuai dengan program yang telah disusun pada tahap prognosis. Bentuk treatment yang mungkn dapat diberikan ialah:
a.       Melalui bimbingan belajar individual.
b.      Melalui bimbingan belajar kelompok.
c.       Melalui remedial teaching untuk mata pelajaran tertentu.
d.      Melalui bimbingan orang tua di rumah.
e.       Pemberian bimbingan pribadi untuk mengatasi masalah-masalah psikologis.
f.       Pemberian bimbingan mengenai cara belajar yang baik secara umum.
g.      Pemberian bimbingan mengenai cara belajar yang baik sesuai dengan karakteristik setiap mata pelajaran.
6.      Evaluasi
Evaluasi disini dimaksudkan untuk mengetahui apakah treatment yang telah diberikan telah berhasil dengan baik. Artinya ada kemajuan, yaitu anak dapat dibantu keluar dari lingkaran masalah kesulitan belajar, atau gagal sama sekali. Bila jawaban anak terhadap soal yang diberikan pada tahap treatment sebagian besar banyak yang salah, itu sebagai pertanda bahwa treatment gagal. Karenanya, perlu pengecekan kembali dengan cara mencari faktor-faktor penyebab dari kegagalan itu.
Dalam rangka pengecekan kembali atas kegagala treatment, secara teoritis langkah-langkah yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut:
a.       Re-Checking data (baik yang berhubungan dengan masalah pengumpulan maupun pengolahan data).
b.      Re-diagnosis.
c.       Re-prognosis.
d.      Re-treatment.
e.       Re-evaluasi. [5]
Selain melalui tahap-tahap di atas, cara mengatasi kesulitan belajar yang dihadapi siswa juga harus dilakukan dengan mengadakan diagnosis dan remedies yaitu melalui proses pemeriksaan terhadap gejala kesulitan belajar yang terjadi dan diakhiri dengan mengadakan remedies atau perbaikan sehingga masalah kesulitan belajar siswa benar dapat diatasi. Pelaksanaan diagnosis kesulitan belajar tersebut harus berlangsung secara sistematis dan terarah melalui langkah-langkah berikut:
1.      Mengidentifikasi Adanya Kesulitan Belajar
Pada langkah pertama ini guru harus mengidentifikasi/menetapkan adanya kesulitan belajar pada diri siswa. Menetapkan untuk memastikan adanya kesulitan belajar harus didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman. Sebagai pedoman untuk menetapkan adanya kesulitan belajar guru dapat menggunakan hasil-hasil post test dan catatan perilaku siswa yang menyimpang selama 2 atau 3 kali pertemuan.
2.      Menelaah/Menetapkan Status Siswa
Setelah guru mengidentifikasi dan memperoleh kepastian tentang siapa-siapa saja yang mengalami kesulitan dalam belajar, maka pada langkah kedua ini guru menelaah atau memriksa setiap siswa yang dimaksudkan pada langkah ini ialah untuk menetapkan jenis atau bentuk kesulitan belajar yang dialami oleh setiap siswa. Untuk memastikan jenis atau bentuk kesulitan masing-masing dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, dengan membandingkan hasil pencapaian/penguasaan TIK (Tujuan Instruksional Khusus) hasil belajar siswa dengan TIK yang ditargetkan untuk dicapai oleh siswa. Kedua, dilakukan dengan menetapkan bentuk kesulitan mereka dalam proses belajarnya.
3.      Memperkirakan Sebab Terjadinya Kesulitan
Upaya yang dapat dilakukan guru untuk menetapkan sebab kesulitan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan alat diagnostik kesulitan belajar. Alat tersebut dapat berupa test diagnostik dan test-test untuk mengukur kemampuan inteligensi, kemampuan mengingat, kemampuan alat indera dan sebagainya yang erat kaitannya dengan proses belajar.
4.      Mengadakan Perbaikan
Strategi pelaksanaan yang ditempuh guru dalam mengadakan perbaikan ini harus dilakukan dengan melalui pendekatan psikologis didaktis, yaitu: Pertama, siswa yang akan diperbaiki sudah menyadari faktor kesulitan/kekurangan mereka; kedua, mereka yakin kesulitan/kekurangan mereka dapat diatasi; ketiga, siswa dibimbing untuk mengadakan perbaikan sesuai dengan sebab dan kondisi kesulitan yang mereka alami.[6]
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada intinya untuk mengatasi masalah belajar pada anak terlebih dahulu kita mengamati kesulitan apa yang dihadapinya, kemudian memberikan solusi untuk masalahnya dengan memberikan latihan-latihan dan sejenisnya untuk mengukur kemampuannya.


[1] Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h.. 89.
[2] Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta,1991), h. 89.
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 247.
[4] Ibid., h. 247-249.
[5] Ibid., h. 250-255.
[6] Alisuf Sabri, Op. Cit., h. 90-93.
Diposkan oleh Nida Mauizdati di 18.29 

Perkembangan Keagamaan pada Anak-anak

A. Timbulnya Agama Pada Anak

  1. Rasa Ketergantungan (Sense of Depend) 

Menurut W. H. Thomas: Manusia dilahirkan kedunia ini memiliki 4 keinginan: keinginan akan perlindungan(security), keinginan akan pengalaman baru(new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognation). Dari kerjasama 4 keinginan itu, maka sejak bayi dilahirkan ia hidup dalam ketergantungan.

  2. Instink Keagamaan

Menurut Woodworth: bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink diantaranya instink keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna.


Perkembangan Agama pada Anak, menurut Ernest Harms:
1.The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng) 
             Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenal Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat ini anak menghayati konsep ke-Tuhan-an sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.   
2.The realistic Stage (Tingkat Kenyataan) 
             Tingkatan ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ke-Tuhan-an anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan pada kenyataan (realitas). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini, ide keagamaan anak didasarkan  atas dorongan emosional, sehingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang Formalis.   
3.The individual stage (Tingkat Individual) 
             Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis terbagi atas: 
      a. Konsep ke-Tuhan-an yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
      b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal.
      c. Konsep ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri merekan dalam menghayati ajaran agama.  
  

Referensi: Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 65-67.  Diposkan oleh Nida Mauizdati di 22.30 



Minggu, 24 Agustus 2014

Tip Bonding Ayah dan Anak

Bonding atau keterikatan tidak hanya terjadi pada ibu dan bayi. Ayah pun bisa memiliki keterikatan yang erat dengan anak. Ini tip-tipnya.

Tugas dan kewajiban ayah tidak hanya soal pemenuhan materi. Ikatan atau bonding dengan anak juga diperlukan. Sejak bayi, bahkan sejak masih dalam kandungan, anak sudah membutuhkan sosok ayah. Apa saja yang bisa dilakukan ayah dalam menjalin bonding dengan anak?
  • Bicaralah dengan janin sejak ia masih dalam kandungan.
  • Hadirlah saat bayi Anda dilahirkan. Jika mungkin ikutlah memotong tali pusatnya.
  • Sering menggendong anak sejak ia bayi dan lakukan kontak mata.
  • Mengganti popok dan memakaikan baju bayi.
  • Lakukan kontak kulit, misalnya memandikan atau memijat bayi.
  • Mengajak anak jalan-jalan dalam gendongan Anda.
  • Memberi dan ikut menyuapi bayi makan.
  • Menemani istri saat membawa bayi ke dokter untuk pemeriksaan rutin dan pemberian imunisasi.
  • Membacakan dongeng sebelum tidur. Aktivitas ini bisa dilakukan sejak anak masihbayi hingga ia balita.
  • Menyanyikan lagu atau berdansa dengan bayi atau balita Anda.

Semakin banyak kegiatan yang Anda lakukan bersama anak, semakin erat ikatan antaraayah dan anak. Ingatlah bahwa kualitas hubungan ayah dan anak sangat penting dalam perkembangan anak.
Sumber: 
http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/Keluarga/tips/tip.bonding.ayah.dan.anak/001/005/146/1

Cara Sederhana Mengelola Keuangan Keluarga

Masalah keuangan adalah hal yang umum dialamikeluarga muda, apalagi di tahun-tahun pertama menjalani kehidupan berumahtangga. Belum lagi si kecil tak lama kemudian hadir di tengah Anda dan pasangan. Benarkah masalahnya terletak dari besar-kecilnya pendapatan keluarga?

“Seringkali masalahnya bukan terletak pada penghasilan yang kurang, tapi kebiasaan yang salah dalam mengelola uang,” ungkap Ligwina Hananto, ahli perencanan keuangan dalam sebuah acara Ayahbunda beberapa waktu lalu. Ternyata, dalam kenyataan, seorang ayah yang berpenghasilan ratusan juta rupiah bisa mengalami shock ketika menemukan uangnya tinggal Rp. 500.000,00 sebelum akhir bulan. 

Ligwina memberikan beberapa kunci untuk mengelola keuangan secara sederhana:
1.    Pahami portfolio keuangan keluargaAnda. Jangan sampai Anda tak tahu isi tabungan, jumlah tagihan listrik, telepon, servis mobil, belanja, biaya periksa dokter dan lainnya. Anda harus tahu berapa hutang kartu kredit, pinjaman bank atau cicilan rumah dan mobil.
2.    Susun rencana keuangan atau anggaran. Rencana keuangan yang realistis membantu Anda bersikap obyektif soal pengeluaran yang berlebihan. Tak perlu terlalu ideal, sehingga lupa kebutuhan diri sendiri. Tak ada salahnya memasukkan kebutuhan pergi ke salon, spa atau clubbing. Yang penting, anggarkan jumlah yang realistis dan Anda pun harus patuh dengan anggaran tersebut.
3.    Pikirkan lebih seksama pengertian antara “butuh” dan “ingin”. Tak jarang kita membelanjakan uang untuk hal yang tak terlalu penting atau hanya didorong keinginan, bukan kebutuhan. Buatlah daftar berupa tabel yang terdiri dari kolom untuk item belanja, kebutuhan dan keinginan. Setelah mengisi kolom item belanja, isilah kolom “kebutuhan” dan “keinginan” dengan tanda cek (V). Dari sini pertimbangkan dengan lebih matang, benda atau hal yang perlu Anda beli/penuhi atau tidak. 
4.    Hindari hutang. Godaan untuk hidup konsumtif semakin besar. Tapi bukan berarti dengan mudah Anda membeli berbagai benda secara kredit. Tumbuhkan kebiasaan keuangan yang sehat dimulai dari yang sederhana, seperti tak memiliki hutang konsumtif. 
5.    Meminimalkan belanja konsumtif. Bertemu teman lama untuk bertukar pikiran di kafe terkadang memang perlu, tapi tak berarti Anda harus melakukannya di setiap Jumat sore. Anda bisa gunakan pengeluaran ini untuk menabung atau memenuhi kebutuhan lain. 
6.    Tetapkan tujuan atau cita-cita finansial. Susun target keuangan yang ingin Anda raih secara berkala, bersama pasangan. Tetapkan tujuan spesifik, realistis, terukur dan dalam kurun waktu tertentu. Tujuan ini membantu Anda lebih fokus merancang keuangan. Misalnya, bercita-cita punya dana pendidikan prasekolah berstandar internasional dan sebagainya.
7.    Menabung, menabung, menabung. Ubah kebiasaan dan pola pikir. Segera setelah menerima gaji, sisihkan untuk tabungan dalam jumlah yang telah Anda rencanakan sesuai tujuan atau cita-cita finansial keluarga Anda. Sebaiknya, Anda memiliki rekening terpisah untuk tabungan dan kebutuhan sehari-hari.
8.    Berinvestasilah! Tentu Anda tak akan puas dengan hanya menunggu tabungan membumbung. Padahal cita-cita Anda untuk keluarga “selangit”. Inilah saat yang tepat untuk juga memikirkan investasi. Kini bentuknya macam-macam. Takut akan risiko investasi?! Tak perlu khawatir, Anda hanya perlu belajar pada ahlinya. Konsultasikan keuangan Anda dengan ahli keuangan yang handal!   
Sumber:
http://www.ayahbunda.co.id/Artikel/Keluarga/keuangan/cara.sederhana.mengelola.keuangan.keluarga/001/004/7/1

 

bagaimana bayi belajar bahasa

RESUME “EINSTEIN NEVER USED FLASH CARD”
Bab 4 Bahasa: Kekuatan Ocehan

Bayi lahir dengan perangkat akuisisi “bahasa”, sebuah organ metafora yang bertanggung jawab untuk belajar bahasa. Penelitian menunjukkan bahwa pada usia 5 bulan, bayi sudah secara khusus menggunakan sisi kiri otak mereka untuk suara bahasa dan sisi kanan untuk mengekspresikan emosi. Bayi sudah menggunakan sisi otak kanan untuk mulut mereka agar mengoceh, padahal mengoceh merupakan bahasa fungsi yang dikontrol oleh belahan otak kiri – hal itu sudah dilakukan bahkan pada usia 5 bulan.

Bagaimana Bayi Belajar Bicara

Perkembangan bahasa dimulai jauh sebelum ulang tahun pertama bayi. Bahkan, dimulai di dalam rahim.

Menemukan cara bagaimana membangun bahasa: Kalimat

Bahwa anak usia 4 bulan bisa membedakan antara dua kalimat. Pada usia sangat dini, bayi sudah lebih suka mendengarkan sampel suara yang lebih alami. Dengan gerakan kepala sederhana beralih ke berbagai sisi, hal itu menunjukkan kepada kita bahwa mereka menemukan cara untuk memisahkan pidato yang terus menerus dan tak pernah berakhir menjadi “potongan-potongan”.

Menemukan cara bagaimana membangun Bahasa: Kata itu Adalah Nama Saya

Sebelum bayi anda dapat berbicara dengan baik, ia berusaha keras untuk menemukan pola dalam aliran bahasa. Pada awalnya, bayi memerlukan kata akrab untuk melayani sebagai “patokan-jangkar atau anchor” untuk membantu mereka mengingat kata-kata yang mereka dengar.

Menatap dan Menunjuk: Berkomunikasi tanpa Bahasa

Setelah menatap ke sebuah obyek yang menarik atau adegan yang mendahului kemampuan bayi untuk memeriksa bagaimanakah tatapan mereka ketika mengikuti suatu benda. Penelitian menunjukkan bahwa bayi yang lebih baik dalam mengikuti tatapan mata orangtua pada usia 6 bulan memiliki kosakata yang lebih banyak pada usia 18 dan 24 bulan.

Manfaat mengoceh

Bayi adalah komunikator yang baik, dan seperti yang kita tahu, mereka lebih mendalami repertoar daripada hanya gerakan seperti menunjuk. Dari bulan-bulan pertama kehidupan, kita mendengar bayi berbisik, menangis, dan tertawa. Pada akhir tahun pertama, anak-anak tampaknya mengoceh pergi.

Orkestra Bahasa

Bayi tidak benar-benar mengerti apa arti kata, mereka baru dapat menemukan artinya paling tidak sampai kuartal terakhir tahun 1. Sampai saat itu, mereka fokus pada pola suara dalam bahasa mereka.

Tahun 2: Bekerja di Bagian Arti Orkestra Bahasa

Para peneliti umumnya bertahan pada tiga kriteria yang harus dipenuhi sebelum mereka beranggapan bahwa anak mengucapkan sebuah kata. Pertama, untuk memenuhi syarat sebagai sebuah kata, maka kata harus memiliki makna sama setiap kali digunakan. Kedua, untuk menjadi kata yang nyata, bayi harus menggunakannya dengan tujuan berkomunikasi. Ketiga, sesungguhnya kata memungkinkan bayi untuk menunjukkan mana kata foto ayah serta ayah yang nyata.

Penandaan sebagai pemicu kata?

Mempelajari tanda-tanda sedikit lebih mudah dari pada belajar kata-kata. Membina komunikasi dapat membantu pertumbuhan bahasa anak.

Makna lebih dalam kalimat : Bagian gramatikal dari orkestra bahasa

Anak-anak mencari pola. Mereka belum memiliki kapasitas untuk menggunakan kalimat, namun mereka didorong dengan kebutuhan untuk berkomunikasi. Mereka menganalisis pembicaraan yang didengar, menarik kesimpulan, mana kata utama yang menjadi inti, kemudian menggunakannya secara efektif, juga sebagian besar dalam urutan yang benar. Mereka berbekal kemampuan analitik dan pengurutan.

Usia 3 dan 4 Tahun: memahami kalimat

Fakta bahwa anak-anak memiliki kemampuan sendiri membantu kita untuk menghilangkan mitos prasangka terhadap seseorang yang kita ajak belajar tentang bahasa. Anak-anak mengambil bahasa mereka, mendengar dan mengambil kesimpulan tanpa bantuan. Anak-anak mampu memahami banyak bahasa di luar dirinya.

Tahun 4: Anak-anak berproses pragmatis pada sebagian orkestra bahasa

Anak-anak pada 3 atau 4 tahun mengalihkan perhatian mereka pada cara berbahasa untuk digunakan dalam situasi sosial. “Pragmatis” ketika: Membedakan kapan dan bagaimana mengatakan sesuatu, membedakan dengan siapa Anda berbicara. Anak memakai pola pencarian, anak-anak mengamati sekitar dan kita untuk mengetahui bagaimana menggunakan bahasa masing-masing.

wadah dan tipe suara, sunyi senyap : tidak semua anak sama

Jika perkembangan bahasa anak-anak tidak menunjukkan variasi kemajuan, kapan kita harus merasa khawatir? Beberapa penanda kuncinya adalah jika seorang anak tidak memiliki kata-kata sama sekali yang mau diucapkan hingga usia 24 bulan dan masih belum bisa menyusun dua kata dalam kalimat pada usia 2 ½ tahun, perlu diperiksa apakah ada masalah. Juga, jika seorang anak tampak menjauh dan menghindari pandangan mata anda ketika anda ajak berbicara, perlu menjadikan periksa. Jika terlihat ada permasalahan dalam hal ini maka intervensi dari ahli perlu dilakukan.

Peran orang tua sebagai partner belajar berbahasa

Semakin banyak peluang kita untuk berbicara dengan anak-anak, semakin banyak data yang mereka analisis, dan menjadi pondasi yang baik untuk kemampuan berbahasa anak.

Membangun dan menjaga percakapan

Orang tua mendorong percakapan lebih jauh, mengajukan pertanyaan lebih lanjut, dan membangun percakapan dengan bahasa yang lebih banyak. Orangtua seharusnya membangun dan menggunakan minat anak sebagai pondasi dasar untuk membangun percakapan, percakapan merangsang pertumbuhan bahasa. Perlu digaris bawahi bahwa banyak informasi penting yang tersampaikan dengan bahasa bila orang tua dapat melakukan percakapan dengan benar untuk membangun kemampuan berbahasa anak sekaligus kemampuan berpikirnya.

berbicaralah dengan anak anda sesering mungkin

Berbicara dengan anak adalah kunci untuk mengajak anak belajar kosakata yang luas dan lebih banyak. Bercakap dengan anak bukan hanya sekedar memberikan kontribusi perkembangan berbahasa, namun juga memperluas pengetahuannya tentang dunianya dan kesanggupannya untuk terlibat dialog dengan orang lain.

Menyediakan lingkungan yang merangsang perkembangan bahasa

Penelitian menunjukkan bahwa saat guru dan pengasuh lebih banyak berbicara dengan anak-anak serta mengajukan banyak pertanyaan, hal ini menciptakan lingkungan yang merangsang perkembangan berbahasa bagi anak-anak yang menjadi asuhannya. Fakta menunjukkan bahwa merangsang kemampuan berbahasa adalah salah satu alat prediktor terbaik kemudian selanjutnya adalah kosakata, membaca dan kemampuan matematika.
sumber : http://www.bintangbangsaku.com/kumpulan-paper-dan-makalah/resume-%E2%80%9C-einstein-never-used-flash-cardquot-01/bagaimana-bayi-belajar-b

Senin, 18 Agustus 2014

Salahkah Jatuh Cinta?


“Hebat! Aku belum pernah merasa sebaik ini dalam hidup saya. Aku akan segera menikah!”

“Benarkah? Dengan siapa? Kapan?”
“David Gallespie, 3 bulan lagi…”
“Asyik sekali. Sudah berapa lama kamu membangun hubungan serius dengannya?”
“Tiga minggu. Aku tahu ini kedengarannya gila, aku sendiri juga serasa tidak percaya, tetapi aku tahu Davidlah pria yang tepat buatku dari Tuhan. Sejak pertemuan pertama, kami berdua langsung mengetahuinya. Tentu saja, kami tidak langsung membicarakannya di kencan pertama itu, tetapi seminggu kemudian, ia memintaku untuk menikah dengannya. Ia melamarku! Aku tahu ia akan mengajukan permintaan itu, dan aku tahu bahwa aku akan berkata ya. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.”

Pembicaraan di atas memang adalah ungkapan hati dari seorang wanita yang sedang mengalami jatuh cinta, namun gejolak perasaan semacam ini bukanlah monopoli kaum wanita saja, melainkan juga milik kaum Adam. Sebagian besar pasangan umumnya akan masuk pernikahan melalui jalan dan pengalaman jatuh cinta. Perjumpaan dengan seorang yang memiliki karakter fisik dan personalitas yang cukup kuat untuk menciptakan kejutan “listrik” dan membangunkan sistem syaraf dan hormon “cinta” akan menyebabkan dimulainya petualangan yang memabukkan yang dikenal sebagai jatuh cinta. Namun, ada apa sebenarnya di balik pengalaman yang luar biasa ini?

Orang yang sedang jatuh cinta mengalami “gangguan” sementara di area rasionya, karena terjangan sensasi emosional dan hormonal yang sangat kuat. Sehingga, ia mempunyai ilusi bahwa kekasihnya itu sempurna. Orang tuanya (atau sahabatnya, saudaranya, pembimbing rohaninya, dll) bisa melihat kekurangan-kekurangan orang itu, tetapi si orang jatuh cinta yang sedang terbuai itu sama sekali tidak bisa melihat semua kekurangan itu. Ia mungkin tahu akan adanya kekurangan-kekurangan itu, namun ia sama sekali tidak melihatnya sebagai sesuatu yang negatif. Ibunya berkata, “Sayang, apakah kamu sudah mempertimbangkan bahwa gadis itu pernah menjalani perawatan psikiater selama lima tahun?” tetapi si putra menjawab, “Oh, Mama, berilah aku kesempatan. Ia sudah lepas dari perawatan itu selama tiga bulan sekarang.” Padahal secara rasional, ini tentu resiko yang cukup besar yang menandakan kemungkinan ketidakberesan pada kondisi si perempuan. Mungkin ada orang-orang terdekat si pria ini yang juga melihat kekurangan-kekurangan itu, tetapi kemungkinan besar ia tidak akan bertanya apa-apa kepada orang-orang terdekat, karena dalam pikirannya gadis idamannya itu sempurna dan ia sama sekali tidak mau mempedulikan pikiran orang lain.

Berikutnya, jatuh cinta dengan cepat akan memenuhi pikiran setiap pasangan dengan bayangan kebahagiaan yang akan diperoleh dalam pernikahan nantinya: “Kita akan membuat satu sama lain sangat berbahagia. Pasangan-pasangan lain bisa bertengkar dan berkelahi, tetapi kita tidak. Kita saling menyayangi. Tidak ada cinta seperti yang kita miliki.” Kita jadi memiliki perasaan bahwa sikap egosentris kita sudah dihapus dan kita sudah menjadi semacam Ibu Teresa, mau memberi/mengorbankan apa saja demi kebahagiaan kekasih kita. Sebaliknya, kita juga sungguh-sungguh percaya bahwa kekasih kita juga berperasaan sama terhadap kita. Kita percaya bahwa ia mempunyai komitmen untuk memenuhi kebutuhan kita, bahwa ia mencintai kita sedalam kita mencintainya dan tidak akan pernah melakukan apapun untuk melukai kita. Keyakinan kuat untuk dapat mengatasi setiap perbedaan-perbedaan yang akan timbul dan sikap otomatis untuk saling mengalah dan mencapai kesepakatan membuat setiap pasangan yang sedang jatuh cinta tidak merasa perlu mempercayai hal-hal yang melemahkan komitmen mereka.

Sayang sekali, keabadian pengalaman jatuh cinta itu hanya merupakan fiksi, bukan kenyataan. Dr. Dorothy Tennov, seorang psikolog, telah melakukan studi panjang mengenai fenomena jatuh cinta ini. Setelah mempelajari berpuluh-puluh pasangan, ia berkesimpulan bahwa daya tahan rata-rata obsesi romantis ini hanyalah dua tahun. Bagaimanapun indahnya pengalaman ini pada awalnya, kita akhirnya harus turun dari awang-awang dan menjejakkan kaki kembali di bumi. Kedua mata kita akhirnya akan terbuka, dan kita melihat kelemahan-kelemahan pada diri kekasih yang tadinya kita puja-puja. Kita menyadari bahwa beberapa sifat dan kebiasaannya sebenarnya menjengkelkan. Pola-pola tingkah lakunya menyebalkan. Ia memiliki kemampuan untuk melukai perasaan kita, barangkali bahkan mengeluarkan kata-kata kasar dan menghina kita. Sifat-sifat kecil yang tidak tampak (karena kita kesampingkan) saat sedang jatuh cinta sekarang menumpuk bagaikan sebuah gunung besar. Pada akhirnya setelah menikah, kita baru teringat akan kata-kata orang tua dan sahabat dan mulai bersetuju dalam hati, “Bagaimana mungkin aku bisa begitu bodoh?”

Sobat muda, sebagai orang Kristen, Anda tidak perlu terjebak dan terseret oleh arus kuat gelombang jatuh cinta ini. Tuhan sudah menyediakan Alkitab yang berisi prinsip-prinsip hidup untuk segala sesuatu, termasuk dalam hal menyikapi pengalaman jatuh cinta dan berpasangan. Itu sebabnya, di ROCK Ministry tersedia pelayanan Bimbingan PraNikah, yang dapat Anda hubungi sesuai area terdekat Anda.

(Disadur dari buku “Lima Bahasa Kasih” karya Gary Chapman, terbitan Professional Book, 1997 )