Senin, 18 Agustus 2014

Salahkah Jatuh Cinta?


“Hebat! Aku belum pernah merasa sebaik ini dalam hidup saya. Aku akan segera menikah!”

“Benarkah? Dengan siapa? Kapan?”
“David Gallespie, 3 bulan lagi…”
“Asyik sekali. Sudah berapa lama kamu membangun hubungan serius dengannya?”
“Tiga minggu. Aku tahu ini kedengarannya gila, aku sendiri juga serasa tidak percaya, tetapi aku tahu Davidlah pria yang tepat buatku dari Tuhan. Sejak pertemuan pertama, kami berdua langsung mengetahuinya. Tentu saja, kami tidak langsung membicarakannya di kencan pertama itu, tetapi seminggu kemudian, ia memintaku untuk menikah dengannya. Ia melamarku! Aku tahu ia akan mengajukan permintaan itu, dan aku tahu bahwa aku akan berkata ya. Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya.”

Pembicaraan di atas memang adalah ungkapan hati dari seorang wanita yang sedang mengalami jatuh cinta, namun gejolak perasaan semacam ini bukanlah monopoli kaum wanita saja, melainkan juga milik kaum Adam. Sebagian besar pasangan umumnya akan masuk pernikahan melalui jalan dan pengalaman jatuh cinta. Perjumpaan dengan seorang yang memiliki karakter fisik dan personalitas yang cukup kuat untuk menciptakan kejutan “listrik” dan membangunkan sistem syaraf dan hormon “cinta” akan menyebabkan dimulainya petualangan yang memabukkan yang dikenal sebagai jatuh cinta. Namun, ada apa sebenarnya di balik pengalaman yang luar biasa ini?

Orang yang sedang jatuh cinta mengalami “gangguan” sementara di area rasionya, karena terjangan sensasi emosional dan hormonal yang sangat kuat. Sehingga, ia mempunyai ilusi bahwa kekasihnya itu sempurna. Orang tuanya (atau sahabatnya, saudaranya, pembimbing rohaninya, dll) bisa melihat kekurangan-kekurangan orang itu, tetapi si orang jatuh cinta yang sedang terbuai itu sama sekali tidak bisa melihat semua kekurangan itu. Ia mungkin tahu akan adanya kekurangan-kekurangan itu, namun ia sama sekali tidak melihatnya sebagai sesuatu yang negatif. Ibunya berkata, “Sayang, apakah kamu sudah mempertimbangkan bahwa gadis itu pernah menjalani perawatan psikiater selama lima tahun?” tetapi si putra menjawab, “Oh, Mama, berilah aku kesempatan. Ia sudah lepas dari perawatan itu selama tiga bulan sekarang.” Padahal secara rasional, ini tentu resiko yang cukup besar yang menandakan kemungkinan ketidakberesan pada kondisi si perempuan. Mungkin ada orang-orang terdekat si pria ini yang juga melihat kekurangan-kekurangan itu, tetapi kemungkinan besar ia tidak akan bertanya apa-apa kepada orang-orang terdekat, karena dalam pikirannya gadis idamannya itu sempurna dan ia sama sekali tidak mau mempedulikan pikiran orang lain.

Berikutnya, jatuh cinta dengan cepat akan memenuhi pikiran setiap pasangan dengan bayangan kebahagiaan yang akan diperoleh dalam pernikahan nantinya: “Kita akan membuat satu sama lain sangat berbahagia. Pasangan-pasangan lain bisa bertengkar dan berkelahi, tetapi kita tidak. Kita saling menyayangi. Tidak ada cinta seperti yang kita miliki.” Kita jadi memiliki perasaan bahwa sikap egosentris kita sudah dihapus dan kita sudah menjadi semacam Ibu Teresa, mau memberi/mengorbankan apa saja demi kebahagiaan kekasih kita. Sebaliknya, kita juga sungguh-sungguh percaya bahwa kekasih kita juga berperasaan sama terhadap kita. Kita percaya bahwa ia mempunyai komitmen untuk memenuhi kebutuhan kita, bahwa ia mencintai kita sedalam kita mencintainya dan tidak akan pernah melakukan apapun untuk melukai kita. Keyakinan kuat untuk dapat mengatasi setiap perbedaan-perbedaan yang akan timbul dan sikap otomatis untuk saling mengalah dan mencapai kesepakatan membuat setiap pasangan yang sedang jatuh cinta tidak merasa perlu mempercayai hal-hal yang melemahkan komitmen mereka.

Sayang sekali, keabadian pengalaman jatuh cinta itu hanya merupakan fiksi, bukan kenyataan. Dr. Dorothy Tennov, seorang psikolog, telah melakukan studi panjang mengenai fenomena jatuh cinta ini. Setelah mempelajari berpuluh-puluh pasangan, ia berkesimpulan bahwa daya tahan rata-rata obsesi romantis ini hanyalah dua tahun. Bagaimanapun indahnya pengalaman ini pada awalnya, kita akhirnya harus turun dari awang-awang dan menjejakkan kaki kembali di bumi. Kedua mata kita akhirnya akan terbuka, dan kita melihat kelemahan-kelemahan pada diri kekasih yang tadinya kita puja-puja. Kita menyadari bahwa beberapa sifat dan kebiasaannya sebenarnya menjengkelkan. Pola-pola tingkah lakunya menyebalkan. Ia memiliki kemampuan untuk melukai perasaan kita, barangkali bahkan mengeluarkan kata-kata kasar dan menghina kita. Sifat-sifat kecil yang tidak tampak (karena kita kesampingkan) saat sedang jatuh cinta sekarang menumpuk bagaikan sebuah gunung besar. Pada akhirnya setelah menikah, kita baru teringat akan kata-kata orang tua dan sahabat dan mulai bersetuju dalam hati, “Bagaimana mungkin aku bisa begitu bodoh?”

Sobat muda, sebagai orang Kristen, Anda tidak perlu terjebak dan terseret oleh arus kuat gelombang jatuh cinta ini. Tuhan sudah menyediakan Alkitab yang berisi prinsip-prinsip hidup untuk segala sesuatu, termasuk dalam hal menyikapi pengalaman jatuh cinta dan berpasangan. Itu sebabnya, di ROCK Ministry tersedia pelayanan Bimbingan PraNikah, yang dapat Anda hubungi sesuai area terdekat Anda.

(Disadur dari buku “Lima Bahasa Kasih” karya Gary Chapman, terbitan Professional Book, 1997 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar